XXIX

486 81 7
                                    

Setelah kami sampai di perbatasan lembah, di sebelah mobil kami, Tn. Jonathan menghentikan kudanya. Wajahnya semakin gugup dan semakin gugup. Ia melihat sekitar. Aku turun dari kudanya dan ikut melihat sekitar.

"Sekarang, bisa kau jelaskan apa yang terjadi, Sir?" tanyaku padanya.

"Ada beberapa tanggal terkutuk yang mungkin terdengar tak masuk akal. Bagi kalian, mungkin bulan adalah hal yang indah, tapi bagiku bulan adalah ancaman" kata Tn. Jonathan cepat. Suaranya bergetar.

"SIR, AKU ITU BODOH! JELASKAN SAJA INTINYA!" teriakku. Mungkin terkesan tak sopan, tapi bila ini benar-benar seburuk yang kubayangkan, kurasa kami tak bisa membuang-buang waktu dengan percakapan bertele-tele.

"DENGAR, ANAK MUDA! SELASA 13 ITU SALAH SATU TANGGAL TERKUTUK! ZOMBIE ITU BISA 10 KALI LEBIH KUAT SAAT BULAN PURNAMA!" teriaknya. Ia menghela nafas sesaat setelah ia berteriak padaku.

Hening. Ia diam. Aku masih mencerna.

"Ah, kurasa itulah mengapa zombie-zombie itu tak langsung tumbang seperti biasa" batinku bergumam.

"Maaf nak, aku tak berniat berteriak begitu" kata Tn. Jonathan setelah nafasnya kembali teratur.

"Tak apa. Yang lebih penting, yang lainnya masih belum kembali. Apa yang harus kita lakukan?" tanyaku. Ini rumit.

"Ha... inilah mengapa aku menyarankan agar tak melakukan latihan hari ini. Semakin malam, semakin bulan purnamanya bersinar, maka zombie-zombie itu akan semakin kuat. Aku tak begitu mengerti bagaimana teknisnya, tapi sensitifitas mereka jauh meningkat melebihi perkiraanku. Jika biasanya kalian bisa mengendap-endap untuk menghindari zombie, kali ini, nafas kalian pun bisa terdeteksi oleh mereka. Atau bahkan, detak jantung kalian" kata Tn. Jonathan membuatku jauh lebih merinding. Maksudku, zombie-zombie itu jauh lebih menyeramkan dari dugaanku. Nafas pun, ah tunggu- degup jantung pun adalah sebuah masalah.

"Sir, tadi kau kemana saat aku sibuk melawan zombie-zombie itu?" tanyaku penasaran.

"Aku memastikan zombie-zombie itu. Sesaat setelah aku sadar peluru pistolku habis, aku kembali untuk menemuimu. Untungnya aku membawa obor" kata tn. Jonathan. Ia masih melihat sekitar.

Hening lagi. Sesaat, sebelum aku sadar sesuatu.

"ASTAGA. MEREKA TAK BAWA PENERANGAN" kataku penuh penekanan. Kenapa aku baru terpikir sekarang? Bagaimana mereka bertahan tanpa penerangan di tengah gelapnya malam ini?

"El, aku akan susul mereka. Kau kembali ke jembatan pemisah desa. Diam di sana dan jangan pergi kemana-mana" kata Tn. Jonathan sambil menggerakan tali di kudanya.

"Tapi-" belum selesai aku bicara, ia sudah memacu kudanya lagi, pergi menjauh dariku.

Aku masih diam membeku. Disini gelap. Yang kulihat hanyalah sinar bulan yang tak pernah kusangka aku benci melihatnya. Aku menatap tanganku yang melepuh, masih terasa perih. Mau tak mau aku harus menyalakan api biru di gergaji mesinku lagi karena kupikir untuk mode lampu, lagu 'Butterfly' akan terlalu berisik. Aku mulai berjalan di jalanan panjang yang seakan tak berhenti ini. Bila kemarin aku berjalan bersama-sama dengan yang lain, dengan tawa, dengan gugusan bintang yang hampir fajar, kini aku sendiri. Dengan hati yang tak tenang. Dengan api biru yang semakin lama semakin membakar tanganku.

Aku mempercepat langkahku. Bahkan setelah melewati jalanan panjang ini, aku harus melewati hutan dulu. Sial. Ini semakin gelap. Aku tahu di sini tak ada zombie, maksudku, setelah melewati perbatasan lembah adalah wilayah Tn. Jonathan yang kuyakin ia tak akan membiarkan ada zombie di sini. Tapi tetap saja, makhluk mengerikan itu tak hanya zombie. Bagaimana dengan hantu? Roh jahat? Vampir? Pembunuh? Atau manusia-manusia kanibal itu? Bodohnya aku memikirkan itu dan membuatku semakin panik sendiri.

Life in Death 2 : IllusionWhere stories live. Discover now