IX

546 92 2
                                    

Tentunya, untuk pembukaan malam aku tak akan langsung bergegas untuk tidur. Aku memilih untuk menghampiri yang lain, sekedar berbicara untuk rencana kedepannya, atau lebih jujur; membicarakan professor itu.

  “So… jadi bagaimana menurutmu?” tanyaku pada semuanya ketika kami semua sudah siap duduk melingkar di salah satu ruang yang jauh dari ruang utama, tempat Profesor Regis dan alatnya beristirahat.

  “Jauh dari yang aku bayangkan” kata David pelan.

  “Kukira yang disebut professor itu adalah orang tua berjanggut yang bicaranya bijak” Ex menambahkan.

  “Iya! Aku tak menyangka professor yang dimaksud disini adalah pria seumuran kita yang bicaranya tinggi sekali” kata Yuki dengan kesal.

  “Sudah, sudah. Bagaimanapun kita harus bersyukur karena kita telah menemukan professor itu” kataku menenangkan mereka yang mulai berisik.

  “Apa yang akan kita lakukan setelah ini? Professor itu tidak terlihat seperti bisa diajak kerja sama” kata Jesica.

  “David, coba kau buka bukumu. Lihat petunjuk apa yang tertulis disitu” kataku pada David. Ia segera membuka tasnya dan mencari buku kuno itu.

  “Um… mari kita lihat…” gumamnya.

  “Ini aneh” kata David tiba-tiba sesaat setelah ia membaca.

  “Ada apa?” tanya Fauzia.

  “Aku yakin sekali ini adalah
‘Ex, kau akan tahu kebenarannya’ Walaupun tulisannya sudah mulai menghilang karena buku ini telah usang, aku yakin tulisannya seperti itu” kata David sambil menunjuk salah satu bagian pada buku.

  “Ex?” tanyaku bingung.

  “Iya, Mam?” tanyanya padaku.

  “Kenapa namamu bisa ada di buku yang umurnya puluhan tahun lamanya?” tanyaku padanya.

  “Aku juga tak tau, Mam” katanya yang sepertinya juga bingung.

  “Berarti, mari kita selidiki apa petunjuk yang dimaksud dari kata-kata itu. Aku yakin ini ada hubungannya dengan Ex” kata Mark.

  “Ex, dimana kau tinggal?” tanya David pada Ex.

  “A-aku… aku tak tau” jawab Ex gugup. Keringatnya mulai bercucuran.

  “Kau yakin kau tak tau? Kalau begitu, dimana keluargamu? Ibumu, ayahmu, atau saudaramu?” tanya Mark.

  “Uuum, ngh… aku tak tau” kata Ex semakin gugup. Ia mulai menggigiti jarinya.

  “Ayolah, Ex. Bantu kami sedikit! Tak mungkin kau tak tau keluargamu sendiri, kan?!” David mulai membentak. Ekspresi wajah Ex mulai berubah ketakutan.

  “Hei hei… kau tak boleh seperti itu David…” kataku mencoba menenangkan David.

  “Kali ini jawab aku, darimana kau berasal?” kata David. Suaranya semakin meninggi seolah-olah menghakimi Ex yang sedang ketakutan.

  “Mam…” katanya sambil pindah bersembunyi di belakang punggungku. Aku yakin Ex benar-benar gemetar sekarang.

  “David! Kau tak boleh bicara seperti itu!” aku mulai keras padanya.

  “Tapi David benar! Dari sekian hal, masa Ex hanya bisa bilang tak tau?” kata Mark. Laki-laki sungguh menyeramkan.

  “TAPI AKU BENAR-BENAR TAK TAU!” teriak Ex kencang membuat suasana hening untuk sekejap. Semuanya diam, tak ada yang bersuara.

  “Ma-maaf… kepalaku pusing. Aku butuh waktu berpikir” kata Ex sambil bangkit dari duduknya. Ia berjalan meninggalkan ruangan dimana kami berkumpul. Entahlah, kurasa ia ingin menangis.

Life in Death 2 : IllusionWhere stories live. Discover now