V

572 87 1
                                    

Saat hari berganti malam dan matahari turun untuk menyinari bagian bumi yang lain, kami berhenti untuk tidur. Tentu saja, kami tak bisa turun dari mobil karena akan terlalu beresiko. Tapi bagaimanapun, seharian berada di mobil sangat membuatku tak nyaman.

Terkadang perutku mual dan aku rasa aku ingin muntah, tapi tetap tak bisa. Atau terkadang kakiku kram dan aku harus memanjangkan kakiku untuk sekedar meringankan kram-nya tapi tetap tak bisa. Rasanya kami seperti terjebak di sebuah kotak berjalan.

Aku keluar sejenak sesaat setelah aku mematikan mesin mobil saat semuanya tertidur. Kau tahu? Aku sudah tak tahan dengan rasa pengap ini. Aku harus membiarkan kakiku melakukan fungsinya, berjalan. Mark tertidur sangat pulas sehingga kurasa ia hampir tak menyadari kalau tanganku berusaha menggapai tombol mobil. Sesaat setelah mesin mobil mati, aku pun membuka pintu dan keluar dari mobil.

  “Aaaah segarnya” batinku berbicara.

Angin malam menerpa tubuhku yang sudah lelah ini. Aneh. Padahal seharian ini aku hanya duduk tanpa melakukan apapun, tapi kenapa rasanya sangat melelahkan, ya?

Aku berkeliling sebentar. Tentu saja tak jauh dari mobil. Mungkin hanya beberapa meter, entahlah, aku tak mau mengukurnya. Suasana sangat sunyi. Aku bahkan tak mendengar ada suara raungan atau suara jangkrik sekalipun. Kurasa disini cukup aman.

Setelah beberapa menit berkeliling untuk mencari angin, sekedar menghilangkan rasa sesak, akupun kembali ke mobil. Kurasa aku juga butuh tidur.
.
Kali ini aku mendengarnya. Raungan-raungan itu. Aku terbangun dari tidurku karena suara bising itu.

Aku membuka mataku yang sebenarnya masih ingin ingin tidur. Setelah mengucek mata dan membenarkan kacamataku, kulihat yang lain pun masih tertidur. Pulas sekali. Tunggu, ini bukan saatnya aku membicarakan soal itu.

Zombie-zombie itu kini berada tepat di depan jendela mobil. Sungguh penampakan yang tak enak dilihat. Tunggu, sepertinya aku lupa menyalakan mesin mobil sebelum tidur?

  “MARK!” teriakku sambil mengguncang-guncangkan badannya. Aneh, kenapa dia tak bangun?

Aku mencoba memajukan badanku ke depan, sekedar untuk menggapai tombol untuk menyalakan mesin mobil agar zombie-zombie itu tersetrum dan tumbang. Ugh tanganku mencoba menggapainya dan… sedikit lagi…

  “Apa yang kau lakukan, mesum?” tanya Mark dengan nada bangun tidur sambil membuka matanya.

  “Mesum?” tanyaku kaget. WTF. Apa yang dia bicarakan?

  “Iya… kau mesum. Uh, aku ingin sekali memelukmu” katanya dengan nada bangun tidur sambil memeluk tanganku. Oh Tuhan, apa yang dia lakukan disaat darurat seperti ini?

  “Mark, darimana kau belajar kata-kata seperti itu?!” tanyaku membentaknya. Aku yakin dia sudah gila sekarang.

  “…” hening. Tak ada jawaban dari Mark. Kurasa ia hanya mengigau.

Tapi tetap saja, apa yang dia mimpikan sampai berbicara seperti itu?

  “Ugh” kataku pelan. Punggungku terasa sangat berat.

  “Minggir kau dasar wanita mesum” kata David sambil menaiki punggungku, kurasa ia berusaha menggapai tombol untuk menyalakan mesin.

  “Mesum?!” aku bertanya kaget lagi. Apa yang salah dengan orang-orang.

  “El kau sangat mesum. Apa yang kau lakukan sekarang? Menyelinapkan tanganmu pada Mark yang sedang tertidur?” tanya David membuatku kaget. Ada apa dengan hari ini?

  “Sialan. Aku hanya berusaha menggapai tombol itu” kataku dengan nada kesal.

  “Bla bla bla kau mesum” kata David sesaat menyalakan mesin mobil.

Zombie-zombie itu tersetrum dan tumbang. Aku bahkan melihat dengan kepala mataku sendiri bahwa zombie-zombie itu benar-benar bergetar karena tersetrum. Apa jadinya jika aku yang ada disana? Kurasa aku akan menjadi daging panggang.

Semuanya terbangun saat mesin mobil menyala. Mungkin suaranya sedikit berisik dan mobil bergetar cukup kencang hingga membuat yang lainnya terbangun.

  “Dimana kita?” tanya Ex masih mengantuk.

  “Entahlah, Ex” jawabku.

  “El, mengapa tanganmu ada disini?” tanya Mark bingung. Dengan secepat kilat aku langsung menarik tanganku.

  “Mark, dia itu me---“ belum selesai David berbicara, aku sudah membungkam mulut David dengan tanganku.

  “Diam kau bocah setan” kataku dengan pandangan kesal, memberi kode agar ia tak mengatakan apapun yang bisa membuat salah paham.

Ia mengangguk pelan kemudian aku melepaskan tanganku dari mulutnya. Basah?

  “IYUHHHHH!” teriakku kencang pada David.

  “Ex, telapak tanganmu sedikit manis, tapi juga sedikit asin” kata David sambil mengelap mulutnya dengan punggung tangannya.

  “SIALAN KAU DAVID, KAU MENJILAT TANGANKU?” teriakku kencang memenuhi mobil. Oh Tuhan, benar-benar menjijikkan.

  “Kenapa? Lagipula kalian adik-kakak, bukan?” tanya Ex yang sepertinya kelihatan bingung, walaupun aku mengakui kata-katanya ada benarnya.

  “Begini ya, Ex. Kakakku itu adalah orang gila yang bahkan tak mau memegang air liurnya sendiri. Entahlah, dia pikir bakteri akan memakannya hidup-hidup. Saat ada kesempatan, kita harus membawanya ke rumah sakit jiwa” kata David disusul oleh gelak tawa yang lain.

Yah, kau tahu, kecuali aku.

  “Kau hanya belum mengerti bagaimana menjijikkannya bakteri-bekateri itu David” kataku sambil melenguh kesal.

  “Biar saja. Setidaknya aku tidak terlihat aneh, wleeee” kata David disusul oleh juluran lidahnya tanda mengejekku.

  “Hah,… aku tak bisa membayangkan bagaimana bila seseorang mencium Mam” kata Ex tiba-tiba disusul oleh seluruh pandangan tertuju padanya.

  “Benar juga, ya?” kata Mark sambil fokus menyetir.

  ”Katakan, El. Bagaimana bila seseorang menciummu?” tanya David penasaran.

  “Um…” aku sendiri pun bingung. Bagaimana yah?

Seluruh pandangan tertuju padaku, menerka-nerka apa jawaban yang akan aku berikan. Aku menatap ke arah mereka dengan tatapan bingung. Aku sendiri pun tak tahu.

  “Ahhh tak tau, tak tau. Mengapa kita membicarakan hal seperti ini sih?” tanyaku kesal karena aku tak bisa memberikan jawaban. Entahlah, pertanyaan itu menyebalkan.

  “Huft, bagaimana sih” kata Jesica sambil kembali menghadap ke depan. Sepertinya ia kecewa.

Life in Death 2 : IllusionWhere stories live. Discover now