VIII

541 87 2
                                    

Kami mempercepat jalan menuju bangunan itu. Setelah sekitar 5 menit kami berjalan, akhirnya kami sampai di depan bangunan itu. Pintunya terlihat cukup besar dengan kontak sensor kecil didepannya.

  “R” kata lelaki itu. Pintunya langsung terbuka.

Mark lebih dulu masuk karena ia menggendong lelaki itu. Sedangkan kami tetap berada diluar, masih merasa segan untuk masuk ke dalam. Beberapa detik setelah pintu terbuka, seorang lelaki berkacamata datang menghampiri Mark dan lelaki itu.

  “Beraninya kau memegang alat-alatku” kata lelaki berkacamata itu sambil memegang lelaki itu. Aku tak tahu apakah itu sihir atau apa, tetapi lelaki itu langsung jatuh dan bisa berdiri lagi. Tapi apa yang dimaksud dengan ‘alat’?

  “Enak saja! Kau pikir aku mau menggendong orang ini” kata Mark kesal.

  “Tapi kenyataannya, kau menggendongnya, bukan?” kata lelaki berkacamata itu sambil berpaling.

  “Hei, mau kemana kau? Bagaimana dengan kesepakatannya?” tanya David menghampiri lelaki berkacamata yang mulai berjalan pergi itu.

  “Kita baru saja bertemu. Dan aku tak pernah bilang ‘iya’, bukan?” kata lelaki berkacamata itu. Ia bahkan tak menoleh sedikit pun.

  “Kalau begitu setidaknya berikan listrik yang telah ia ambil dari mobil kami!” seru Jesica sambil ikut mendekat.

  “Aku katakan sekali lagi. Aku tak pernah bilang ‘iya’. Kalian membuat kesepakatan dengan alatku, bukan denganku” kata lelaki berkacamata itu sambil terus berjalan masuk. pintu mulai menutup perlahan-lahan dan itu membuat amarahku memuncak.

Kurasa ia sedang menantangku bertarung.

  “JANGAN MAIN-MAIN, BRENGSEK!” teriakku sambil menariknya sebelum pintu benar-benar tertutup. Pintu kembali terbuka dan akhirnya ia mau menoleh. Matanya membelalak saat melihatku. Aku tak tahu maksudnya apa tapi itu benar-benar menyebalkan.

  “Um, ngh… baiklah” katanya sedikit bingung.

  “Jadi… apa yang kalian inginkan?” tanya lelaki berkacamata itu sambil membenarkan kacamatanya.

  “Nyalakan mesin mobil kami dan berikan David senjata baru” kata Fauzia tiba-tiba.

  “Lalu, biarkan kami tinggal disini untuk beberapa waktu. Aku benar-benar lelah berdiam diri di mobil” kata Yuki tiba-tiba.

  “What the- bukankah permintaan kalian terlalu berlebihan. Kalian bahkan hanya membawa alatku untuk beberapa meter” kata lelaki berkacamata itu terlihat tidak terima.

  “Ehem” aku berdehem sambil menyilangkan tanganku, melihat kearah lelaki berkacamata itu. Ia menelan ludahnya.

  “Baiklah baiklah. Sebenarnya aku tak mau melakukannya, tapi baiklah. Kalian boleh tinggal disini untuk beberapa waktu” kata lelaki berkacamata itu sambil kembali berpaling. Ia berjalan masuk ke dalam.

  “Benarkah? Benarkah?” tanya Yuki senang. Ia masuk dengan semangat.

  “Apa artinya aku akan mendapat senjata baru?” kata David semangat sambil ikut masuk.

Kami semua masuk ke dalam bangunan yang luas itu. Sejuk. Mungkin bangunan ini memakai AC atau semacamnya. Beberapa kabel listrik berwarna-warni menempel di beberapa bagian. Dan akhirnya kami sampai di pusat bangunan, ruangan lega dengan satu tempat seperti kapsul dengan beberapa alat lainnya.

  “Kau menggunakan kekuatanmu terlalu banyak. Aku harus mengganti alatnya lagi. Cepat masuk ke dalam” kata lelaki berkacamata itu pada lelaki yang tadi digendong. Lelaki itu menunduk dan berjalan kearah tangga. Setelah berada di tangga paling atas, ia memakai masker oksigen dan masuk ke dalam kapsul berisi air berwarna hijau itu. Penutup besi dari kapsul itu mulai menutup sesaat lelaki itu menjatuhkan diri ke dalam kapsul.

  “Apa kau yakin dia akan baik-baik saja?” tanya Jesica pada lelaki berkacamata itu.

  “Yeah. Itu akan memulihkan tenaganya untuk sementara waktu” jawabnya.

  “Siapa namamu?” tanya Jesica padanya.

  “Aku Regis. Tapi orang-orang lebih sering memanggilku Profesor Regis” katanya dengan bangga sambil melihat padaku.

Tunggu, professor?

Dia yang kami cari selama ini?

Oh Tuhan, bagaimana mungkin seorang professor bisa sangat menyebalkan seperti ini?

  “Kenapa? Kau kagum karena aku sudah mendapat gelar professor pada tampangku yang masih muda ini?” tanyanya padaku. Sepertinya ia mengsalah-artikan pandangan kagetku.

  “Cih” jawabku kesal.

  “Jadi kau professor yang Mamku cari itu?” tanya Ex pada Prof. Regis.

  “Mam?” Regis memastikan.

  “Ini Mamku” kata Ex sambil menunjukku.

Ah,… salah paham lagi.

  “A-aku um aku sedikit salah sangka. Tapi kau terlihat awet muda” kata Regis tergagap padaku.

  “AH SIAL” kataku sambil melangkah pergi dari mereka.

  “Mam! Mam!” teriak Ex sambil menyusulku.

Matahari pergi kearah barat, tahu bahwa sekarang bukan waktunya untuk menyinari langit disini. Malam pun tiba saat rembulan mulai menampakkan wujudnya, menyinari langit yang gelap gulita.

Burung-burung terbang tinggi kembali pada sarangnya, kembali pada keluarga mereka masing-masing.

Sedangkan kami, para manusia yang kehilangan, yang tak tentu arah, kembali ke bangunan tempat kami berlindung. Tapi sejauh apapun kami pulang, keluarga kami tak ada disana. Tak ada di rumah yang hangat untuk menyambut kami.

Dan bahkan zombie-zombie itu, mereka tak punya waktu untuk beristirahat, atau untuk pergi menenangkan diri sejenak. Mereka tetap berada di luar sana. Jiwa-jiwa kesepian itu tetap berkeliaran untuk mencari jiwa-jiwa tak bersalah lainnya.

Life in Death 2 : IllusionWhere stories live. Discover now