XXXI

530 83 8
                                    

Sinar jingga itu berusaha masuk ke mataku, membuatku terbangun dan mengedipkan mata beberapa kali. Aku masih terbaring di ranjang ini, masih berusaha memproses apa yang terjadi. Mataku melirik jam dinding di ujung sana. Pukul setengah 5 sore. Mataku mengedip beberapa kali lagi untuk memastikan. Aku berniat mengucek mataku sebelum aku menyadari bahwa kedua tanganku telah terbalut perban putih ini.

Aku menghela nafas panjang. Hal terakhir yang kuingat adalah dinginnya malam dan Ex yang berusaha meraihku sebelum semuanya berubah menjadi gelap. Aku melirik tubuhku. Beberapa perban membalut anggota tubuhku yang lain. Kepalaku terasa lebih pusing dibanding biasanya. Tak aneh. Mungkin aku terdengar seperti keparat yang tak tahu rasa syukur, tapi terkadang aku berpikir 'bagaimana mungkin aku masih tetap hidup?'. Entahlah, memikirkannya membuatku lebih pusing.

"AHAHAHAHAHA BERARTI AKU YANG MENANG!" teriak Loui kencang dari ruangan lain. Suaranya terdengar kencang ke seluruh ruangan di rumah.

"Ssssssttttt! Jangan berisik, Loui! Kakak yang berkacamata itu masih tidur" kata seseorang menenangkan Loui. Aku tak yakin itu siapa, kurasa Rei.

"Tak bisakah kita bangunkan saja?" tanya Loui memelankan suaranya.

"Untuk apa dibangunkan?" tanya Rei bingung.

"Agar bangun saja" kata Loui. Aku sudah tak aneh dengan jawabannya.

"Lalu setelah ia bangun, kau mau apa?" tanya Rei masih tak mengerti dengan pola pikir Loui.

"Rei, bangun tidur tak harus selalu melakukan sesuatu. Kau sendiri, setiap kau bangun tidur di pagi hari memangnya kau tau kau mau apa?" tanya Loui membalikkan pertanyaan.

"Ah terserah lah" jawab Rei kesal.

Suara-suara itu mulai menjauh, menghilang dari pendengaranku. Aku bangkit dari tidurku, perlahan berjalan untuk keluar ruangan ini. Aku berdiri di depan pintu, menyenderkan tubuhku dan melihat sekitar. Lorong ini kosong untuk beberapa saat sebelum Rei, Loui, Kimora, dan Kiona muncul dari arah berlawanan.

"Tuh kan sudah kubilang apa? Jangan terlalu berisik, Loui! Sekarang ia benar-benar bangun" kata Rei pada Loui sambil menunjukku.

"Tak apa, Rei. Aku hanya ingin bangun saja. Lagipula, bangun tidur itu tak harus selalu melakukan sesuatu, kan?" jawabku sambil menatap Loui, mencoba menyindirnya.

"Aaaaah nona yang satu ini. Ternyata kau sudah mendengar dari awal, huh?" ia menyindir balik. Sarkasmenya boleh juga.

"Kau berteriak sangat kencang, Loui. Bagaimana mungkin aku tak mendengarnya?" jawabku padanya sambil berjalan meninggalkan lorong.

"Loui, ia tak marah, kan?" tanya Rei mencoba berbisik di belakangku.

"Jadi kakak yang tadi itu pingsan atau tidur?" tanya Kiona atau Kimora, entahlah, yang pasti salah satu dari mereka.

Aku menggelengkan kepalaku dan menuju ruang tamu. Aku melirik Mark terlihat sedang duduk di sofa sambil membaca koran lama. Ia memakai baju tanpa lengan dan celana pendek. Salah satu kakinya yang terangkat terbalut perban hingga lututnya.

"EL! KAU LIAT EX, TIDAK?" tanya Ri tiba-tiba dari belakangku.

"Huh? Kau bertanya padaku yang baru saja bangun?" tanyaku heran.

"Jadi kau lihat atau tidak?" tanya Ri. Dia ini dungu apa bagaimana, sih?

"Jelas tidak lah, bodoh!" kataku sedikit kesal. Mungkin mesin miliknya sedikit berkarat sehingga otaknya memproses lebih lambat. Atau,... memang otaknya saja yang lambat.

"Ish, kemana sih dia?" tanya Ri tak karuan sambil berkeliling.

"Mark, kau benar-benar tak melihat Ex?" tanya Ri sambil menghampiri Mark yang sibuk membaca koran.

Life in Death 2 : IllusionOn viuen les histories. Descobreix ara