XXII

445 81 5
                                    

            Aku terbangun di tempat yang... entahlah, akupun tak tahu. Kepalaku pusing dan badanku dalam keadaan terikat, berdiri. Kurasa yang lain pun sama. Segulung tali tambang berwarna putih lusuh mengikat kami, membuat punggung kami mengelilingi tiang besar yang terbuat dari kayu. Seluruh badanku tak bisa bergerak, kecuali mata untuk berkedip dan mulut untuk berbicara. Kondisi yang lain pun sama sepertiku. Ex berada di sebelah kananku. Aku bisa melihat setengah kiri bagian tubuhnya. Dan di sebelah kiriku ada David, aku bisa melihat setengah kanan bagian tubuhnya. Mungkin Mark dan Ri berada tepat di belakangku, entahlah aku pun tak tahu. 

Aku cukup yakin bahwa sekarang sudah malam. Tempat ini cukup gelap dan aku tahu bahwa kami tak sedang berada di sebuah ruangan, mungkin lapangan. Kotor, sedikit dingin, dan aku bisa melihat beberapa kayu berada di bawah kaki kami. Samar-samar terdengar suara musik? Entahlah? Aku cukup yakin bahwa alat musiknya bukanlah gitar atau piano karena suaranya cukup keras. Suaranya terdengar seperti terompet, pukulan-pukulan pada kulit sapi, dan tepukan-tepukan tangan. Beberapa orang juga terdengar sedang menyanyi, tapi aku tak begitu yakin apa yang mereka ucapkan. Aku tak mengerti.

Aku tak bisa keluar dari ikatan ini. Bahkan tanganku tak bisa bergerak, yaaa kecuali jari tanganku. Semakin lama musik itu semakin keras. Aku cukup yakin bahwa suara itu menghampiri kami. Yang kami lakukan saat ini hanyalah diam, menunggu apa yang akan datang menghampiri kami. Tak lama setelah itu, beberapa cahaya berwarna jingga perlahan muncul menghampiri kami. Aku tak yakin apa itu karena aku tak memakai kacamataku. Cahaya itu semakin lama semakin dekat, hingga sampai di titik bahwa aku yakin itu adalah api. Aku menyipitkan mataku, mencoba menelaah siapa yang membawa obor-obor api. Dan...

"Ah... sudah kuduga ada yang tak beres dengan orang-orang itu" kataku cukup kencang. Jariku sedikit menyentuh David.

"Harusnya kita langsung melanjutkan perjalanan tepat saat kita menyadari bahwa mereka kanibal" kata David lemas.

Orang-orang itu... mereka ada beberapa orang yang kami temui di pondok. Namun kali ini, jumlah mereka lebih banyak. Coretan di pipi mereka masih ada, bahkan mungkin bertambah. Beberapa di antara mereka membawa tombak, sebagian kecil membawa alat seperti gendang, dan sisanya membawa obor api. Aku bisa melihat salah seorang diantara mereka membawa alat aneh yang mungkin mereka jadikan sebagai alat tiup. Mereka menghampiri kami dan tersenyum. Kini seringai mereka jauh lebih menyeramkan dari sebelumnya. Aku cukup yakin mereka memakai sesuatu karena gigi mereka terlihat hitam pekat.

"Puji Dewa yang telah memberikan bukan hanya 1, tapi 4 domba. Sayangnya, yang satu lagi hanya mesin" kata seseorang yang memegang alat tiup itu.

"Domba?" gumamku. Firasatku sudah benar-benar yakin bahwa kami berada dalam kondisi terburuk. Orang-orang itu terus menyeringai.

"LEPASKAN KAMI!" teriak Mark kesal. Sudah kuduga ia terikat di belakangku, menghadap kearah sebaliknya.

Mereka tak mengatakan apa-apa lagi setelah teriakan Mark. Mata mereka menajam, dan musik itu mulai mereka mainkan lagi. Aku mencoba bergerak sebisa mungkin untuk melepaskan diri, tapi tali itu terlalu kuat. Aku tak tahu bagaimana mereka mengikatnya, tapi ikatannya benar-benar kuat. Kami ada berlima dan sama-sama berusaha semampu kami untuk meloloskan diri, tapi rasanya tali ini tak melonggar sedikit pun.

Mereka masih memainkan musik-musik itu. Semakin lama semakin keras. Beberapa diantara mereka mendekat ke arah kami, menatap kami dengan tatapan lapar. Dan kini, kupikir mati tenggelam atau yang lainnya lebih baik daripada mati dimakan oleh makhluk sejenismu, manusia. Aku tak bisa membayangkan bagaimana mereka mengunyah dagingku atau menguliti tubuhku yang sudah mati. Ugh, sangat menjijikkan.

"Sssst" aku yakin orang itu mengatakan sesuatu, tapi aku tak yakin apa yang ia katakan.

Kini tubuhnya benar-benar mendekat. Dengan obor yang ia bawa, aku tahu bahwa sekarang adalah terakhir kalinya aku bisa melihat dunia. Ah sialan, kenapa hal terakhir yang aku lihat adalah wajah bodoh orang ini? Ia menyeringai sebentar, sebelum aku menutup mataku. Jariku berusaha menyentuh jari David, mencoba menggenggamnya. Ah, aku tak mau berakhir seperti ini.

"Dorr!" aku langsung membuka mataku saat aku pendengar suara tembakan itu. Sebuah peluru melesat dari samping, tepat menembus otak orang yang hampir saja membakar kayu dibawah kami dengan obor di tangannya. Ia jatuh seketika.

Life in Death 2 : Illusionحيث تعيش القصص. اكتشف الآن