XIII

505 90 3
                                    

Beberapa hari terlewati sejak Profesor Regis bilang bahwa ia akan memodifikasi senjata kami. Dan kurasa, ia telah selesai melakukannya. Hari ini, kami berkumpul di ruangan pusat bangunan. Regis datang dengan jas labnya sambil membawa beberapa alat yang tertutup kain.

  “Ini punyamu” kata Regis singkat sambil memberikan senapan besar berwarna merah dengan plat ungu muda pada Mark.

  “Ini untuk kalian. Kalian bisa menggunakan mode laser untuk pedang kalian. Tombolnya ada di bagian bawah” kata Regis sambil memberikan pedang pada Jesica, Fauzia, dan Yuki. Gagang pedang itu berwarna perak dan memiliki ukiran indah. Tunggu, sejak kapan Regis bisa mengukir?

  “Ini beberapa kebutuhan lainnya” kata Regis sambil memberikan barang-barang yang kuyakin akan berguna. Ada sesuatu berbentuk bulat berwarna hitam, beberapa stik berwarna-warni, dan sekotak kardus dengan isi beberapa barang berbentuk permen.

  “Apa ini?” tanya David sambil menunjuk barang yang berbentuk bulat hitam.

  “Itu bom lempar. Kau cukup melemparnya sekencang mungkin, tapi efeknya tak terlalu besar. Setidaknya cukup untuk meledakkan 3-4 zombie” katanya.

  “Kalau ini?” tanya Ex sambil menujuk beberapa stik yang berwarna-warni.

  “Itu listrik cadangan untuk mobilmu dan untuk alat Ri” jawab Profesor Regis.

  “Kalau ini?” tanyaku sambil menunjuk kotak kecil berisi barang yang berbentuk permen.

  “Oh, itu permen untukmu. Bukannya sudah cukup jelas?” tanya Profesor Regis. Walaupun secara teknis ia benar, kenapa ini terasa menyebalkan?

  “Kau mau kupukul?” tawarku sambil memperlihatkan kepalan tanganku.

  “Eh? Kau tak suka permen?” tanyanya bingung.

  “Lupakan” kataku singkat. Ah sudahlah.

  “Kenapa aku tak dapat?” tanya Yuki.

  “Kau siapa?” sindir Regis ketus disusul oleh wajah cemberut Yuki.

  “Itu apa?” tanya David sambil menunjuk sesuatu di balik kain.

  “Uhm… itu…” gumam Regis gugup.

  “Kurasa ini---“ kata-kata Mark terpotong setelah ia membuka kain penutupnya.

  “HEY COOL” kata David sambil menunjukkan barang itu. Eh? Itu rambu?

  “Baca ini, ‘dilarang pacaran’. Hahahahaha aku baru tau ada rambu seperti ini” kata David sambil membaca tulisan di rambu itu. Seriously Regis? Kau benar-benar membuat rambunya?

  “Uh, kembalikan!” kata Regis sambil merebut kembali rambu-rambu yang dipegang David.

  “Kenapa kau membuatnya?” tanya Fauzia yang sepertinya penasaran.

  “Hm, beberapa hari yang lalu aku melihat orang yang sedang berpacaran di LAB SUPER milikku ini, jadi kurasa aku perlu memasangnya” jawab Regis dengan penekanan pada kata ‘lab super’nya.

  “Huh? Siapa?” tanya Jesica bingung.

  “Kurasa itu Ex dan Ri. Akhir-akhir ini mereka terlihat dekat” kata Fauzia.

  “Benarkah?” tanya Ex. Sepertinya dia sendiri bingung.

  “Lupakan, lupakan” gumam Regis sambil melangkah pergi.

  “Regis, jangan lupa nanti malam kita akan berkumpul lagi. Pastikan kau tak tertidur” kataku padanya.

  “Okay” jawabnya singkat sambil terus melangkah lebih jauh.

Malam pun tiba. Semilir angin malam tak sedingin hari kemarin. Dan kami, raga-raga yang penasaran berkumpul untuk satu tujuan, mengembalikan dunia pada keadaan semula. Aku bersandar pada sofa yang nyaman, menunggu Profesor menyebalkan itu untuk ikut berkumpul.

  “Ah, maaf menunggu lama” ucapnya sambil menghampiri kami.

  “Huft, kau tau berapa lama waktu yang kami habiskan untuk menunggumu?” kata Mark kesal.

  “Kau tau, aku tak mau menyombongkan diri tapi aku ini orang sibuk. Aku punya banyak urusan yang harus aku kerjakan. Dan tentunya, urusan itu bukanlah perkara mudah” jawab Profesor Regis dengan nada sombong.

  “Ah tak taulah, bisa kita mulai sekarang?” tanya Mark ketus.

  “Yeah, kita mulai sekarang” kata David menyetujui.

  “Jadi, karena senjata dan peralatan lain sudah siap, kami akan berangkat besok saat fajar tiba. Kau tau kan dalam keadaan seperti ini tak memungkinkan semua orang untuk ikut pergi? Jadi kupikir akan lebih baik bila hanya beberapa diantara kita pergi dan kembali saat berhasil menemukan orang yang dimaksud” kataku memulai bahasan.

  “Aku akan tetap disini. Kurasa aku perlu lebih banyak belajar dari Profesor untuk mengembangkan hasil penemuanku” kata Jesica mengusulkan diri.

  “Eh? Apa aku bilang aku tak ikut?” tanya Profesor Regis kaget.

  “Tapi aku setuju dengan Jesica. Regis, kau punya banyak pengetahuan yang kami tak ketahui. Kau ahli di bidang ini dibandingkan dengan bertarung” kata David.

  “Tapi kan…” Regis mencoba menyangkal.

  “Kurasa pada akhirnya akan ada peristiwa besar yang mengharuskan kita semua untuk mengorbankan nyawa kita. Kau tau, mau bagaimanapun ada hal yang tak bisa dihindari. Regis, aku mengandalkanmu untuk berusaha semampumu untuk membuat alat-alat yang mungkin memudahkan kita saat waktunya tiba. Kau penting dalam hal ini” jelasku pada Regis mencoba membujuk. Ia memalingkan wajahnya.

  “Baiklah, baiklah. Aku akan berada disini. Pastikan kalian kembali hidup-hidup” kata Regis akhirnya menyerah.

  “Jadi siapa saja yang ikut?” tanya David.

  “Aku dan Ri mau ikut Mam!” kata Ex semangat.

  “Kapan aku bilang begitu?” tanya Ri bingung.

  “Tak apa, kan aku yang bilang” kata Ex simpel.

  “Kalau begitu yang akan ikut adalah aku, David, Ex, Ri, dan Mark. Bagaimana?” tanyaku pada semuanya.

  “Yeah, kurasa begitu lebih baik” timpal Mark.

Malam semakin larut. Setelah selesai berdiskusi mengenai esok hari, kami pun kembali ke ruangan tempat kami tidur. Kami harus beristirahat karena mulai besok, kami akan menjalani hari yang melelahkan. Ah, kuharap malam ini aku bisa tidur dengan nyenyak.

Life in Death 2 : IllusionWhere stories live. Discover now