XIV

529 86 3
                                    

Kami terbangun sebelum fajar tiba. Rasa kantuk masih tergambar jelas di wajah kami, terutama wajah Regis. Wajahnya masih terlihat bengkak dan rambutnya terlihat acak-acakan. Kurasa ia habis makan mie ramen semalam. Kami, kecuali Mark bersiap-siap untuk masuk ke mobil. Mark masih sibuk memasukkan barang-barang ke dalam mobil.

Bukan tak mungkin diperlukan waktu berhari-hari untuk memecahkan misteri itu. Kami membawa banyak persediaan makanan dari lab super ini. Regis bahkan memberikan beberapa stok mie instannya untuk kami bawa, walaupun sebenarnya kami harus memasak air dulu untuk memakan mie itu.

Setelah siap semua, mesin mobil pun menyala dan mobil mulai bergerak. Seperti biasa, Mark selalu bertugas untuk menyetir mobil karena mobil ini terlalu berat untuk aku kemudikan dalam waktu yang lama. Aku kembali duduk di depan bersama Mark. Ri duduk dengan Ex di bangku paling belakang. Kurasa mereka sudah jadi teman baik. Dan David duduk sendirian di tengah.

Awal perjalanan terasa cukup mudah karena di daerah sini, zombie-zombie hanya turun dari atas gunung, seperti waktu itu. Yah, lagipula Profesor Regis tak akan membiarkan zombie-zombie itu berkeliaran di sekitar wilayahnya. Ah kurasa aku mengerti mengapa ia memodifikasi Ri.

Mobil bergerak maju menjauhi lab super milik Regis. Kami tak tahu pasti kemana kami harus pergi. Petunjuk yang bisa dibaca di buku itu tak banyak membantu. Jadi sementara ini, kami hanya akan pergi sesuai firasat kami.

Perjalanan yang kami lalui tak begitu sulit. Maksudku, kau tahu, listrik di mobil kami benar-benar membantu untuk menyetrum zombie yang mendekati mobil kami. Tapi bagaimana pun, berjam-jam diam di dalam mobil tidaklah nyaman. Terkadang aku ingin tiduran, atau sesekali menggaruk telapak kakiku yang terasa gatal. Ah, entahlah, mungkin kali ini aku tak berencana melanjutkan tidur, jadi aku hanya akan menemani Mark menyetir sekarang.

Saat matahari naik, kami beristirahat, keluar dari mobil untuk sekedar mengisi perut kami. Tak lama, hanya beberapa suap dari nasi ketan berisi daging dan setengah botol air mineral. Kali ini, kami semua memakan makanan yang sama jadi aku tak perlu menjelaskan secara detail apa yang mereka makan. Namun, kurasa Ex tak bisa berpisah dari buah. Setelah makan nasi ketan berisi daging pun, ia tetap memakan sebuah apel.

Setelah selesai makan, kami pun kembali ke dalam mobil untuk melanjutkan perjalanan kami. Sebenarnya aku cukup kagum dengan mereka yang gigih membantu walaupun mereka tak tahu apa yang akan terjadi. Maksudku, mereka percaya denganku, dengan adikku, dengan buku kuno itu. Kalau aku jadi mereka, kurasa aku akan memiliki banyak pertanyaan yang terngiang-ngiang di kepalaku. Yeah,… aku memang tak mudah untuk percaya. Aku meminta air mineral yang ada di belakang. Meskipun jelas-jelas sudah selesai makan dan minum air, berada dalam mobil cukup membuatku dehidrasi karena udaranya cukup panas. David terlihat tidur nyeyak di belakang. Ex dan Ri masih sibuk mengobrol di belakang. Mereka berdua terlihat bahagia. Cukup bahagia sebelum kami sampai di kota dan zombie mulai berkeliaran dimana-mana.

Aku tahu kalau para zombie itu mendekati mobil, mereka akan mati tersetrum. Tapi kurasa, jumlah mereka kali ini terlalu banyak. Mereka mulai mendekati mobil. Beberapa diantaranya tumbang, tapi sisanya terus berdatangan. Padahal ini belum lama sejak kami berangkat.

  “Mark tambah kecepatannya” kataku padanya.

Ia mengangguk dan menginjak gas. Mobil melaju lebih cepat, menabrak zombie-zombie yang tumbang itu. Setelah mobil sudah cukup jauh dari kerumunan zombie yang tertinggal, Ex melemparkan bom lempar dari kaca belakang disusul oleh ledakan yang mengenai zombie-zombie itu.

Matahari mulai turun dan burung-burung terbang beramai-ramai untuk kembali ke sarangnya. Mobil masih terus melaju melewati area perkotaan, mengikuti jalanan aspal yang mulai berlubang. Kios-kios yang tutup terlihat di sepanjang jalan. Ada beberapa kemungkinan, mereka yang tinggal di dalamnya bertahan dengan makanan seadanya, atau justru mereka yang jadi makanan untuk yang lainnya.

Saat langit benar-benar menjadi gelap, kami berhenti sejenak. Kami perlu istirahat. Setelah menemukan posisi yang dirasa aman, Mark pun menyandarkan punggungnya ke kursi mobil. Setelah beberapa detik hening, suara dengkuran mulai keluar dari mulutnya. Kurasa Mark benar-benar kelelahan. Ah, sebaiknya aku juga tidur.
.

Kami bangun dalam keadaan hening. Eh? Tak ada raungan? Kurasa perjalanan kami jauh lebih mudah daripada sebelumnya. Setidaknya, sampai sekarang.

Mark menginjak gas, mencoba pergi ke tempat lain. Namun mobil hampir tak bisa bergerak. Apakah ada masalah dengan ban atau,… sesuatu yang lain?

  “El, kau cek ke depan” katanya sesaat setelah mematikan mesin mobil.

  “Eh?” tanyaku bingung.

  “Baiklah baiklah, aku yang akan melakukannya” kata Mark sambil membuka pintu mobil dan mulai keluar dari mobil.

  “HEY! BANTU AKU MENYINGKIRKAN SAMPAH-SAMPAH INI!” teriak Mark dari depan mobil sambil berkacak pinggang.

  “Ada apa?” tanyaku sambil membuka pintu mobil, berniat menghampiri Mark.

  “ISH APALAH!” kataku sambil ikut berkacak pinggang setelah melihatnya. Ugh, zombie-zombie yang tumbang itu berubah menjadi kehitamaan karena terlalu lama tersetrum. Jumlahnya pun bukan hanya 1 atau 2. Ugh, pantas saja mobil tak bisa lewat.

Yang lain pun ikut keluar dan menunjukkan reaksi yang sama. Kalau boleh jujur, aku sendiri tak mau memindahkannya. Terlalu menjijikkan. Jadi, here we go, untuk apa fungsinya adik?

  “David, kau anak baik, tampan, dan pemberani, bukan?” tanyaku tiba-tiba pada David.

  “Wah, El! Akhirnya kau menyadarinya juga, ya?!” jawabnya semangat.

  “Jadi… kau yang bereskan, okay?” tanyaku diikuti dengan senyum.

  “Eh? Enak saja! Ugh kau sangat licik, El!” katanya menolak.

  “Kau kan sudah kupuji jadi lakukanlah tugasmu, dasar bocah setan!” kataku kesal.

  “Kau menyebutku bocah setan? Dasar kau penyihir tua yang licik, enyahlah kau! Huft!” katanya kesal sambil menyilangkan tangannya dan memalingkan wajahnya.

  “CUKUP!” kata Mark memisahkan kami yang berderbat.

  “Kenapa sih kalian ini dimanapun kapanpun selalu bertengkar? Apa tak ada bahasan yang lebih bermutu?” kata Mark kesal.

  “Sudah, sudah. Biar aku saja yang membereskannya, okay?” kata Ex menawarkan diri sambil meju ke depan menghampiri tumpukan zombie itu.

  “Ri, apa yang kau lakukan? Cepat bantu aku!” kata Ex padanya saat ia melihat Ri hanya berdiri disana.

  ”Eh? Aku?” tanya Ri bingung.

  “Ayo bantu aku” kata Ex sambil sibuk menyingkirkan zombie-zombie yang tumbang itu. Ah, biarlah mereka yang bekerja. Aku akan kembali ke mobil.

Setelah beberapa saat Ex dan Ri sibuk menyelesaikan tugasnya, mereka kembali ke dalam mobil. Mark mulai menginjak gas dan seketika mobil pun bergerak maju. Kami meneruskan perjalanan tanpa henti. Bahkan hari ini, kami tak turun dari mobil sama sekali. Mark hanya terus menyetir mobil kearah yang dirasa benar. Aku pun tak berencana untuk keluar mencari udara segar, jadi kali ini aku hanya terus duduk membatu di dalam mobil. Seperti biasa, yang lain memilih tidur. Aku akan merasa bersalah bila aku ikut tidur dan membiarkan Mark terjaga sendirian, jadi sekarang aku hanya akan duduk dan menunggu keajaiban datang.

Waktu berlalu dengan cepat. Terlalu cepat untuk kujelaskan keseluruhannya. Tak ada yang berubah. Aku hanya duduk disini, menatap ke depan. Sesekali aku meneguk air mineral dan lanjut menatap ke depan. Tak banyak berubah. Tempat yang kami lalui tetap terasa asing di mataku, mungkin di mata Mark juga. Aku menyenderkan kepalaku ke kursi. Ah, aku harap ini segera berakhir.

Life in Death 2 : IllusionWhere stories live. Discover now