018. Paman Dom Serba Salah

13.7K 1.2K 1.9K
                                    

"Yakin kamu tidak apa-apa?" tanya Jeno penuh kekhawatiran, "soalnya wajah kamu pucet banget kayak ghost wrap like a candy and jumping-jumping at night."

Oliv yang mendengar istilah asing itu kontan mengernyit bingung, "Hah? Itu apaan?"

"Pocong," sahut Jeno.

"Kok pocong sih? Kan aku cewek," Oliv menimpali, merasa kurang cocok disebut pocong.

"Mmm... mirip apa ya kalau cewek?" monolog Jeno sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di dagu, sedang berpikir keras. "Oh, iya! Mirip woman on top of the tree and always singing ih~ ih~ ih~"

"Maksud kamu Tante Kun?" tanya Oliv memastikan dengan ekspresi agak julid, "Padahal aku mirip Lady Diana gini kok disama-samain sama Tante Kun."

Jeno merotasikan bola mata, "Lady Diana kan udah meninggal, jadi Tante Kun juga kan?"

"Tapi Lady Diana rambutnya bondol," koreksi Oliv, "Kuntilanak mana ada yang rambutnya bondol?"

"Lah siapa tahu di dunia dedemit ada salon, terus Lady Diana coba-coba extension rambut. Hayoloh? Gimana?" Jeno terus mendesak, tak mau kalah.

"Dapat duit dari mana Lady Diana? Kan duit tidak dibawa mati," cerocos Oliv.

"Eh iya juga ya?" Jeno menaikkan sebelah alis, pendiriannya mulai goyah. "Tapi setahu aku sih guna-guna, santet sama pelet itu pakai jasa dedemit gitu. Mungkin dapat bayaran dari situ."

"Bisa jadi, bisa jadi," Oliv mengangguk setuju, namun diwaktu nyaris bersamaan, ia tiba-tiba tersadar, "ini kenapa kita jadi bahas dedemit universe begini?"

"Ya lagian kamu sih yang mulai! Pucet gitu masih ngeyel tidak apa-apa," ujar Jeno menyalahkan Oliv.

"Jen, ini kan hari pertama aku mens, jadi wajar kalau perut aku sakit," jelas Oliv meluruskan, "kan biasanya juga kayak gini, kamu tahu sendiri."

"Iya, tapi sebelum-sebelumnya tidak sampai sepucet ini kamunya," Jeno terus menyangkal, tak bisa dibodohi. Ia kemudian berinisiatif menempelkan punggung tangannya di dahi dan leher Oliv secara bergantian untuk mengecek suhu, "Badan kamu juga dingin banget kayak perasaanmu padaku."

"Lebay!" desis Oliv.

"Lebay matamu! Ini namanya khawatir goblok!" maki Jeno penuh emosi, Oliv tidak peka kalau sejak tadi Jeno memberinya perhatian lebih. "Kamu tunggu di sini dulu sebentar."

Oliv menahan pergelangan tangan Jeno, "Kamu mau ke mana?"

"Ke kantin. Beli makanan buat kamu," sahut Jeno selagi melepas tangan Oliv.

"Aku tidak selera makan," kata Oliv sambil geleng-geleng kepala, "kamu beli buat kamu saja. Tadi katanya kamu juga belum sarapan kan?"

"Selera tidak selera ya harus tetap makan. Habis ini juga PAS kimia, pasti banyak mikir. Nanti yang ada kamu malah pingsan," elak Jeno, kemudian mulai membawa langkahnya keluar dari kelas menuju ke kantin.

Selang lima menit kemudian, Jeno pun kembali dengan membawa kantong kresek berisi beberapa makanan. Ia lantas menarik kursi dari bangku sebelah agar bisa duduk di dekat Oliv. Omong-omong, saat pelaksanaan ujian, setiap kelas dibagi ke dalam dua ruang ujian, kebetulan Jeno dan Oliv berada di ruangan yang sama. Hanya saja, karena nomor absen mereka terpaut lumayan jauh, Jeno duduk di deretan tengah, sedangkan Oliv berada di deretan belakang.

"Ini aku beliin roti isi selai stroberi kesukaan kamu," ujar Jeno sambil membukakan plastik yang membungkus roti tersebut, lalu memberikannya pada Oliv, "kalau aku beliin nasi-nasian, pasti tidak kamu makan."

"Nanti kalau rotinya sudah habis, minum obat pereda nyeri haid ini," imbuh Jeno seraya mengeluarkan dua tablet obat dari saku celananya.

"Kamu dapat dari mana?" tanya Oliv.

DOMINIC VANTETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang