021. Apa Ini Gejala Mau Meninggal?

9.1K 656 524
                                    

1 bulan kemudian

"Kamu kenapa sih, Liv?" tanya Jeno agak dongkol setelah kesekian kalinya memergoki Oliv bolak-balik mengehela napas panjang.

Mendengar itu, Oliv pun lekas meletakkan pulpennya di atas buku catatan, menjeda sebentar kegiatan hitung-hitung matematika bab permutasi dan kombinasi yang sepertinya sudah membuat otaknya bekerja sangat keras, ubun-ubunnya sampai terasa panas, mungkin sebentar lagi bakal keluar api. "Perasaan Covid-19 sudah selesai deh, tapi kenapa ya aku kok malah makin PPKM?"

"Hah? PPKM?" Jeno menautkan alisnya bingung, perasaannya mulai tidak enak.

Oliv kontan mencebik, menghela napas panjang sekali lagi, kemudian memasang tampang layaknya orang dengan beban hidup teberat di dunia sebelum akhirnya berbisik melas, "Iya, PPKM... Plonga-Plongo Kayak Monyet."

"Loh, kamu kan emang monyet, bukan 'kayak' lagi," gurau Jeno seraya membuat ekspresi seperti monyet, makin totalitas dengan garuk-garuk kepala dan pantat secara bersamaan. "Uk.. uk.. ak.. ak~"

Melihat itu, Oliv sontak geleng-geleng kepala. "Stop, Jen. Kamu kalau gini kayak orang berkebutuhan khusus."

"Oliv anjing!" maki Jeno sambil melotot.

Sebenarnya gadis itu sedang overthinking, sebab wali kelas mereka sempat memberi tahu jika pembelajaran semester genap ini hanya akan berlangsung selama 3 bulan saja, sisanya akan diisi dengan ujian-ujian. Oleh karena itu, bisa dibilang kalau semester ini merupakan momok paling menakutkan bagi siswa-siswi SMA kelas puncak.

Bukan tanpa sebab, mereka nantinya akan dihadapkan dengan berbagai ujian yang rasa-rasanya seperti tidak akan ada habisnya. Mulai dari ujian tengah semester, ujian akhir semester, ujian sekolah, dan ujian praktek. Belum lagi bagi mereka yang ingin melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi harus siap bersaing dengan ratusan orang dari pelosok negeri melalui seleksi yang ketatnya bukan main. Semua harus dipersiapkan lebih dini, sebab kedepannya pasti sibuk sekali.

"Eh, Jen," Oliv menoel-noel lengan Jeno sampai anak laki-laki itu kembali menoleh kepadanya, "takut banget sama ujian."

"Kenapa takut?" tanya Jeno enteng, ia terlihat tidak terlalu ambil pusing.

"Ya kan ujian ini menentukan apakah nantinya aku lanjut kuliah atau jualan chicken petok-petok covered with crispy flour and served by extreme wrestling a.k.a smackdown," jelas Oliv dengan wajah serius, membuat Jeno langsung menoyor kepalanya geram.

"Bilang aja 'ayam geprek' anjir" seru Jeno pusing sendiri.

"No! Terlalu basic," kata Oliv bersikukuh, "chicken smackdown lebih keren. Aku bisa jual jadi 100 ribu soalnya pakai nama bahasa inggris."

"Emang iya banget mau jualan ayam geprek?" sindir Jeno seraya membalik halaman buku paketnya untuk mencari rumus.

"Ini tuh perumpamaan," tandas Oliv agak sebal karena Jeno yang tak kunjung peka. "Tips dong biar pintar."

"Jangan goblok," sahut Jeno, to the point sekali.

"Dih, nyebelin banget sih!" Oliv mendengus, "aku jadi pengin give away kegoblokanku."

"Loh? Jangan, Liv. Yang mengisi otakmu kan hanya kegoblokan. Kalau di give away, nanti jadi kosong. Otak kalau lama-lama kosong jadi menyublim. Terus hilang. Kan seram kalau tidak punya otak," cegah Jeno seraya buru-buru menangkup pipi Oliv dan memasang wajah khawatir.

"Tenang, kawan," kata Oliv, "aku punya 3 otak. Kalau satu otak hilang, aku masih punya dua cadangan."

Jeno menaikkan sebelah alisnya bingung. "Ha? Di mana?"

DOMINIC VANTETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang