22. Pengakuan

7.1K 672 31
                                    

Atika mendengus lelah menatap Gira yang sedari tadi bolak-balik menatap ponsel, ruang masuk divisi pemasaran, dan ruangan manager secara bergantian dengan rawut wajah cemas. Entah apa yang membuatnya seperti itu, tapi satu yang pasti itu berhubungan dengan Dewa.

"Ra, lo kenapa sih?" Tanya Atika malas sembari menyusun berkasnya.

Gira mengalihkan pandangannya ke kubikel sebelah sahabatnya itu, "Dewa kok belum datang, ya? Nggak biasanya."

"Wait, jadi dari tadi lo ngehawatirin Dewa?!" Tanya Atika tidak percaya. Tentunya dengan sangat pelan. Dia masih ingat para karyawan lain.

Gira membelak, segera menhalihkan pandangannya kembali ke layar komputernya, "E-enak aja! Siapa juga yang ngehawatirin dia!"

Atika gantian mendengus geli menatap sahabatnya itu, "Lo itu nggak pintar bohong, Ra! Gue tau sahabat gue!"

Gira mengigit bibirnya pelan. Kembali membuka mulutnya untuk menyangkal, "Nggak, lah! Sotoy lo, Ka! Ini tuh nggak biasanya Dewa telat. Kalau pun nggak datang, pasti dia izin ke HRD dan si Revi sekretarisnya Pak David pasti langsung kasih tau gue."

"Halah, bilang aja lo masih perduli sama dia, ye kan?"

Gira menghela nafasnya, "Nggak, udahlah! Capek gue ngomong sama lo!"

Tak lama berselang, orang yang mereka bicarakan muncul. Wajah yang biasanya tersenyum ramah kepada semua orang, kini tertekuk lelah.

Gira yag melihat keberadaan orang yang sedari tadi ia cari yang tak lain adalah Dewa, kembali berpura-pura sibuk agar tidak menimbulkan curiga. Namun pria itu malah mendatangi kubikelnya, membuat Gira sedikit menjadi panik karenanya.

"Gira, bisa bantu saya nggak?" Tanya Dewa begitu berdiri di depan kubikel mantan kekasih merangkap sekretarisnya itu.

Gira mendongak, "Kalau boleh tau bantuan apa ya, Pak?" Tanyanya balik dengan sangat sopan dan ramah.

Belakangan ini ada gosip di kantor, terkhususnya divisi pemasaran tentang dirinya dan Dewa yang memiliki hubungan. Karena interaksinya dengan bos divisi mereka yang cukup tidak biasa itu. Sering bercanda dan berbicara seperti bukan layaknya atasan dan bawahan. Bahkan Gira pernah ketahuan salah satu rekannya memukuli punggung Dewa karena pria itu membuatnya kesal. Jadi dia harus menjaga sikapnya dan tetap profesional, walaupun memiliki masalah yang rumit dengan pria itu.

"Ayo ikut ke ruangan saya!" Perintah Dewa setelahnya berbalik dan berjalan terlebih dahulu. Namun perkataanya memantik keingintahuan karyawan lain.

"Kenapa kalian lihatin saya sebegitunya?" Tanya Dewa dingin, membuat semua karyawan lain memilih kembali kepada aktivitasnya masing-masing.

Gira tidak memiliki pilihan. Dengan langkah yang sebenarnya sangat malas ia mengikuti langkah atasan yang juga mantan kekasihnya itu. Namun ia masih bisa mendengar sayup-sayup bisikan para rekannnya yang kubikelnya kebetulan Gira lewati.

"Keknya bener deh gosip itu! Mereka punya hubungan tuh. Ngapain juga Pak Dewa menghampiri duluan, kan bisa ya panggil interkom atau nggak telepon gitu."

"Tapi gue rasa mereka lagi bertengkar! Lihat aja muka Pak Dewa nggak enak banget! Mana telat lagi."

"Eh eh lihat deh tangannya Pak Dewa di perban! Atau jangan-jangan si Gira selingkuh kali, makanya Pak Dewa pukulin tembok kek cowok di wattpad-wattpad gitu."

Gira yang sedari tadi menahan amarahnya juga ikut refleks melihat tangan Dewa. Lebih tepatnya tangan kanan pria itu yang kini sudah terbalut perban di kelima jarinya.

Tangan Dewa kenapa?

"Kamu perlu bantuan apa?" Tanya Gira begitu menutup pintu ruangan itu. Menghilangkan percakapan informal. Toh hanya ada mereka saja.

Cek Apartemen Sebelah [END]Where stories live. Discover now