2. Masa lalu Bu Nabila

16 4 0
                                    

Maret, 2020

"Janda?" Kening wanita berbaju seragam guru itu menyatu tatkala ia membaca berkas lamaranku.

Aku tertunduk diam, tetapi tidak dengan degup jantung yang terasa saling berlompatan. Aku sudah tahu apa yang akan terjadi. Selalu begini respon orang-orang, selanjutnya aku pasti akan diusir dengan alasan mereka sedang tak mencari pekerja atau dengan alasan tak sesuai syarat seperti sebelumnya.

Kadang aku berpikir, apa yang salah dengan janda. Kenapa selalu persepsi buruk yang melingkupinya. Bukankah, menjanda itu takdir? Jika boleh memilih, aku pun tak ingin menyandang status itu di usia yang masih muda.

"Ditinggal mati atau selingkuh?"

Aku menengadah, merasa janggal dengan pertanyaan barusan.

"Mati," ucapku lirih, nyaris tak terdengar. Ingatan masa lalu kian datang. Rasa perih kembali menjalar. Susah payah aku menahan agar genangan air mata tak tumpah. Jangan sampai, setidaknya jangan saat ini.

"Kamu ditolak!" tegasnya.

Aku sontak menoleh ke arah guru itu." Kenapa, Bu?"

"Kenapa? Sayangnya, di sini lagi enggak buka lowongan."

"Ta-tapi Bu, kata teman saya, di sini lagi nyari tenaga honorer."

"Enggak. Kamu salah informasi," ujarnya seraya mempersilakan aku keluar ruangan.

"Tapi, Bu."

"Saya bilang enggak ada, ya, enggak ada!"

"Bu, saya mohon, Bu. Saya enggak tau lagi mau ngelamar kerja di mana? Saya, saya butuh uang, Bu." Aku memegangi tangannya berharap guru bergincu merah itu menerimaku.

"Heh, kok, maksa. Pergi sana!" ujarnya menepis tanganku.

"Miss Clara!" Seseorang datang. Sejenak pria berbaju seragam guru itu memandangiku dan guru yang dipanggil Miss Clara.

"Jangan kasar, Miss. Semua hal itu bisa dibicarakan baik-baik," tambahnya lagi.

"Ada apa?" tanya pria itu.

"Maaf, Pak. Sa-saya mau ngelamar kerja di sini, Pak." Aku menunduk.

Lelaki di hadapan menatapku. Sejujurnya aku malu mengemis pekerjaan seperti ini, tetapi mau bagaimana lagi. Aku benar-benar butuh pekerjaan.

"Se-sebagai tukang bersih-bersih juga enggak papa, Pak," ucapku lagi.

"Wah, kebetulan ini. Kami memang kekurangan guru. Kamu bisa kerja di sini. Kamu lulusan apa?" tanyanya.

"S1 Akuntansi, Pak."

"Enggak masalah. Besok kamu datang ke sekolah," ujarnya.

"Jadi, Pak, saya diterima?"

"Iya," jawabnya sembari tersenyum.

"Tapi, Pak?" Miss Clara kembali membuka suara. Guru lelaki itu menatap tajam ke arah Miss Clara.

Aku menghela napas lega. Tak henti-hentinya bibirku merapal kalimat syukur. Akhirnya, aku bisa membiayai hidupku dan Zhizi-anakku.

"Terima kasih, banyak, Pak Zendra," ucapku sembari mengeja nama yang tertera di seragamnya.

Setelah berpamitan, aku bergegas keluar dari kantor.

"Awaas!" Teriakan itu terdengar serentak dengan sebuah bola yang menghantam kepalaku.

Tubuhku tumbang seiring dengan rasa pusing yang datang. Aku memegangi pelipis yang terkena lemparan bola.

"Ah, maaf-maaf. Gue enggak sengaja, Dek."

Marry Me, Bu Guru!Where stories live. Discover now