4. Jangan Sakit

10 3 0
                                    

Sinar mentari terasa menyilaukan saat aku membuka mata. Rasa pusing kian datang mendera. Aku kembali memejamkan mata, berharap rasa pusing itu segera sirna. Namun, semakin lama justru semakin tak tertahankan.

Tubuh terasa mati rasa. Sekuat tenaga, aku memaksa bangun, tetapi tubuh kembali limbung.

Allah. Aku kenapa?

Jam weker berbunyi nyaring. Pertanda sudah pukul 06.00 WIB. Namun, aku memilih mengabaikan. Entah sudah berapa lama, pusing yang kurasakan tak kunjung hilang. Akhirnya, kuputuskan untuk menghubungi Bu Ros, mengabari bahwa hari ini aku tak masuk. Sedih memang, tetapi harus bagaimana lagi, daripada nanti keadaanku semakin parah.

Telepon tersambung. Suara Bu Rostiana terdengar dari seberang. Segera kuutarakan  maksudku. Tidak kuduga ternyata respon Bu Ros begitu baik.  Beliau yang terkenal tegas dan sangat disiplin di sekolah ternyata sangat lemah lembut dan perhatian saat aku kesulitan.

"Semoga cepat sembuh, ya, Bu Nabila," ucapnya sebelum telepon ditutup.

Aku segera merebahkan tubuhku pada pembaringan. Jemariku menekan pelan pelipis, berharap rasa pusing sedikit mereda.

"Ma, bangun, Ma." Suara Zhizi terdengar. Aku membuka mata perlahan." Mama sakit?" Zhizi menempelkan telapak tangannya pada keningku.

"Enggak, Mama, cuma lelah aja. Mama tidur sebentar, ya, Nak."

Gadis berusia lima tahun itu mengangguk patuh. Aku membelai lembut kepalanya. Anganku terhempas pada kenangan dua tahun silam. Saat itu aku juga tengah terbaring sakit, hanya saja ada seseorang yang selalu menjagaku tanpa kenal lelah. Orang hebat yang namanya terukir indah dalam hati. Meskipun raganya telah pergi.

Ah, andai saja dia masih disini.

***

Suara teriakan di sertai pukulan bertubi-tubi terdengar nyaring dari luar. Dengan penuh rasa penasaran, gegas aku bangkit seraya  melirik ke arah jam, sudah pukul 09.00 WIB.

Meski sedikit limbung, aku terus berjalan mendekat ke arah jendela; memastikan suara apa yang barusan kudengar.

Zhizi tampak di depan pagar. Tangannya menggengam sapu dengan ujung terarah kepada seorang pemuda. Mata Zhizi melotot, bibirnya mengerucut, khas anak kecil yang sedang marah. Aku menyipitkan mata guna melihat dengan jelas siapa sosok pemuda itu.

Ruga? Mau apa dia?

"Pagi menjelang siang, Bu cantik!" teriaknya seraya melambaikan tangan ke arahku.

"Pagi menjelang siang, Bu cantik!" teriaknya seraya melambaikan tangan ke arahku

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kamarku terletak di bagian depan dengan jendela mengarah pada jalan masuk. Sementara ruang tamu menghadap lurus ke jalan. Indekos ini sendiri terdiri dari tiga kamar, satu dapur dan ruang tamu yang dihuni empat orang. Aku, Zhizi dan dua orang yang kebetulan sedang pulang kampung. Jadilah beberapa hari ini hanya aku dan Zhizi yang berada di rumah ini.

Marry Me, Bu Guru!Where stories live. Discover now