10. Teman Masa kecil

6 2 0
                                    


"Wah, wah. Pantesan enggak ada kabar, ternyata ibu di sini."

Aku dan Pak Zendra sontak menoleh ke depan. Swili tersenyum sumringah seraya menenteng beberapa paper bag di kedua tangannya. Tanpa bertanya pun aku sudah tahu apa yang baru saja ia lakukan.

Swili hobi berbelanja. Hal yang wajar mengingat ia termasuk keturunan keluarga kaya raya. Berbelanja tak ubahnya bagai rutinitas yang wajib baginya. Bahkan ketika kami tengah bersama, ia kerap membelikanku beberapa kaus dan barang-barang mahal lainnya. Aku sering menolak tetapi Swili adalah Swili, sosok yang tak menerima penolakan.  Hal itulah yang membuatku tak enak dengannya.

"Swili, kupikir siapa? Kenapa manggil 'Ibu' segala sih, berasa tua aku," protesku.

Swili terkekeh sembari menarik sebuah kursi yang berada di dekatku.

"Eh, ada Bang Zen. Maaf-maaf, aku enggak sadar kalo ada Abang di sini," ujar Swili seraya menoleh ke arah kanannya.

"Kamu, kan, emang selalu gitu. Pura-pura enggak nampak kalo ada aku."

"Wah, kacau. Beneran enggak sadar aku." Swili protes.

Sesaat mereka terlibat perdebatan, sementara aku terbengong sediri melihat keakraban mereka. Sejak kapan mereka akrab? Kupikir mereka baru saja bertemu. Jangan-jangan Pak Zendra adalah mantan Swili? Tetapi sejak kapan? Kenapa aku tak pernah tahu?

"Eh, tunggu-tunggu. Kalian saling kenal?" Aku menautkan kedua alis.

Swili dan Pak Zendra saling berpandangan. Detik berikutnya mereka justru saling tertawa. Entah apa yang membuat mereka tertawa.

"Jadi Bila belum tahu?" Swili menatap Pak Zendra, sementara orang yang ditatap justru menggeleng pelan. Kemudian, suara tawa Swili kembali bergema.

"Kalian ngomongin apa, sih?" Lagi, aku kembali melontarkan pertanyaan.

"Ya, elu, Nabila. Lu beneran enggak ingat sama Bang Zendra?"

Aku mencoba membuka memori lama yang tersimpan di kepala. Namun, semakin lama aku mencoba mengingat, tak ada sedikit pun ingatan yang berkaitan dengan Pak Zendra.

Aku menggeleng pelan. Pak Zendra tampak menghela napas perlahan, apa ia kecewa terhadapku?

Swili menepuk pundak lelaki berusia 27 tahun itu. Tatapannya memandang sendu Pak Zendra. Lalu beberapa detik kemudian Swili kembali tertawa mengejek.

"Ahahaha, sabar ya, Bang

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Ahahaha, sabar ya, Bang. Kata orang tuh, kalo seseorang enggak ingat sama kita. Jangan sedih. Itu bukan berarti sengaja dilupain, tapi ... Abang emang enggak sepenting itu untuk diingat!" Swili tertawa terbahak-bahak.

Pak Zendra mendelik, lalu secepat kilat tangannya bergerak mencubit pipi Swili. Gadis berusia 23 tahun itu menjerit sembari menepuk tangan Pak Zendra yang tak kunjung melepaskan cubitannya.

"Argh! Sakit tau! Gue kan cuma bercanda!"
Teriakan Swili kian nyaring, membuat Pak Zendra mengakhiri aksinya. Terlebih saat beberapa orang tampak menoleh ke arah kami.

Swili mengerucutkan bibirnya. Bekas cubitan Pak Zendra membuat kulit Swili yang putih menjadi kemerah-merahan.  Tak dapat kutahan bibir ini untuk tidak tertawa.

"Udahlah. Berhenti ketawanya. Kalian rese banget, sih. Masak Barbie kayak gini, malah dijadikan candaan." Swili mulai mendrama.

Aku kembali berusaha bersikap serius, meski beberapa kali sudut bibir kutahan untuk tidak terus tertawa.

"Bil, lu ingat enggak. Bocah laki-laki yang umurnya 5 tahun di atas kita."

Swili menjeda ucapannya sejenak. Mungkin berharap aku akan langsung ingat dan merespon ucapannya. Namun, aku benar-benar tak mengingat apapun.

"Bocah gendut yang suka pake kaos warna pink dan selalu main masak-masakan sama kita dulu," tambahnya lagi.

"Yang hidungnya beler itu? Terus kalo main masakan, suka dimakan beneran masakannya?"

"Nah, akhirnya lu ingat." Swili menghela napas lega.

"Terus, apa hubungannya sama Pak Zendra?"

Swili menepuk jidatnya. Mulutnya komat-kamit, entah apa.

"Bocah yang joroknya enggak keturunan itu ya, Abang Zendra, Oneng!" teriak Swili geram.

"Tapi, seingatku namanya bukan Zendra."

"Eh, itu ...." Pak Zendra tampak menggaruk tengkuknya.

"Iya, kita manggilnya Bang Een. Een Ndut." Suara Swili mulai melunak.

"Een Ndut. Seriusan?" Kini, mataku terbelalak tak percaya. Een Ndut, panggilan itu memang kami sematkan kepada sosok bocah gembul berusia 10 tahun yang suka bermain bersama kami saat kecil dulu. Anak laki-laki yang lebih tua 5 tahun dari kami tetapi cengeng. Itulah sebabnya, semasa kecil ia tak punya teman, selain aku dan Swili. Ya, kami.

Pak Zendra tersenyum malu.

"Jadi, kenapa enggak bilang dari awal kalo Bapak, eh Abang ini Bang Een?"

"Itu karena ... saya takut nantinya kamu pasti bakalan ngira saya nerima kamu bekerja di sekolah karena kamu teman masa kecil. Saya cuma enggak mau kamu merasa terbebani," akunya.

"Tapi sejujurnya aku awalnya emang iya, sih."

"Kalo kamu merasa terbebani, kamu harus melakukan yang terbaik untuk saya dan para siswa.

Aku tersenyum. Entah kenapa setiap perkataan Pak Zendra membuat semangatku kembali membara.

🐾🐾🐾

yuhuu Ruga udah part 10, Nih.
Next?

Marry Me, Bu Guru!Where stories live. Discover now