9. Olimpiade Matematika

6 2 0
                                    

Suasana tampak sepi ketika aku berjalan menuju ruang guru. Tak ada satu pun siswa yang tampak berlalu lalang di koridor karena jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan. Itu artinya jam pembelajaran sudah dimulai 15 menit yang lalu.

"Bu Nabila, kebetulan sekali kita bertemu di sini." Pak Zendra tampak baru saja keluar dari ruang guru.

"Oh, iya, Pak. Ada apa ya, Pak?"

"Begini, Bu. Siswa yang mengikuti olimpiade. Sudah siap, kan?"

"Sudah, Pak. Sudah lengkap semua. Mereka sedang dalam perjalanan ke mobil," ujarku seraya mengangguk hormat.

"Baguslah. Ibu 'kan mau ke sana juga, kebetulan saya juga mau ke mobil. kita barengan aja."

"Iya, Pak. Tapi, saya mau mengambil tas saya dulu. Bapak bisa duluan aja."

"Eh, enggak papa, Bu. Saya tunggu aja. Kebetulan saya lagi enggak buru-buru."

Aku tersenyum canggung. Sebenarnya tidak masalah kalau harus berjalan bersama karena kami satu tempat tujuan. Namun, bagaimana tanggapan para guru? Selama ini mereka sudah memberi penilaian jelek terhadapku. Pasti setelah melihat aku jalan berduaan dengan Pak Zendra, mereka semakin benci, terutama Miss Clara. Akan tetapi ....

Meski dengan sedikit ragu, aku memenuhi ajakan Pak Zendra. Bukankah hanya jalan saja. Waktuku pun tak lagi banyak.

Gegas aku mengambil tas dan keperluan kami selama olimpiade. Tak lupa sebuah ponsel kuletakkan di dalam tas.

Setelah sedikit membetulkan make up, aku segera keluar menemui Bapak Kepala Sekolah.

Hari ini kami akan mengendarai mobil Pak Zikri, guru olahraga sekolah kami. Namun, begitu kelima siswa sudah masuk ke dalam mobil, aku mencoba melongok ke dalam. ternyata tak ada tempat kosong lagi.

"Bangkunya penuh, ya. Em ... bagaimana jika ibu naik mobil saya saja?" Pak Kepala sekolah seolah tengah membaca kerisauanku.

Belum sempat aku menjawab, lelaki berlesung pipi itu kembali berkata," Maaf, Bu. Saya enggak bermaksud mencari kesempatan. Ibu jangan berpikiran yang aneh-aneh terhadap saya."

"Ah, iya. saya tahu. Saya malahan sangat berterima kasih kepada Bapak." Aku mengulas senyum.

"Tunggu sebentar, ya, Bu. Saya mau ngambil mobil dulu di parkiran," pamitnya seraya berlalu.

Kikuk, tak ada kata lain yang menggambarkan kami berdua. Meskipun dalam hatiku ingin mencairkan suasana, tetapi lidah terasa kelu. Benar-benar berbeda ketika aku bersama Ruga.

Ah, Ruga. Bocah SMK itu entah ke mana hari ini. Dari tadi pagi aku tak melihatnya di sekolah. Apa mungkin, dia bolos lagi?

Deheman Pak Zendra membuyarkan pikiranku. Setelah sadar, aku tergugup ketika tak sengaja bersitatap dengan manik hitam milik kepala sekolah muda itu.

Riuh suara orang-orang yang datang pada olimpiade kali ini. Beberapa guru tampak sedang memberi pengarahan muridnya. Aku segera membariskan peserta olimpiade dari sekolahku lalu memberi sedikit pengarahan dan semangat kepada mereka.

Aku segera meneguk air mineral yang kubawa dari rumah. Selain lebih terjamin sehat, membawa minuman sendiri  juga bisa berhemat.

Bunyi mikrophon terdengar, menyuruh seluruh peserta untuk berkumpul. Aku lekas menuju tempat perlombaan. Sebelum mereka masuk ke dalam ruangan, kembali kuberi sedikit arahan.

Siswaku tampak bersemangat mengerjakan lembar soal yang diberikan. Pikiran was-was yang sebelumnya menderaku pun sirna.

"Minum dulu, Bu." Pak Zendra datang menyodorkan sebotol minuman dingin kepadaku.

Marry Me, Bu Guru!Where stories live. Discover now