5. Help Me!

8 3 0
                                    

🐾🐾🐾

Dering ponsel terdengar dari meja. Segera kuraih benda berukuran 6.5 inci itu untuk melihat siapa yang tengah menggangguku siang ini.

Ada rasa bahagia yang menyelimuti hati tatkala kubaca sebuah pesan yang baru masuk, hingga tak sadar Ruga telah berdiri di sampingku.

"Ada apa? Kok, Ibu senyum-senyum sendiri? Siapa yang ngirim WA?" tanyanya seraya melongok ke arah ponsel di tanganku.

Aku segera menekan tombol kembali sebelum menoleh ke arahnya.

"Kepo!" ledekku seraya membereskan buku-buku pelajaran yang sebelumnya berserakan di atas meja. Sementara itu Ruga masih berdiri di sampingku.

"Ibu pulang sama siapa?" tanyanya lagi.

"Kenapa? Mau nganterin?"

"Ah, enggak. Kan, bukan muhrim, kecuali kalo ibu ...." ucapannya terjeda.

"Kalo saya kenapa?"

"Kalo Ibu mau gue halalin dulu." Ruga tersenyum malu-malu seraya memasukkan kedua telempap ke kantong celananya.

"Jadi, sekarang Ibu haram?"

"Eh, bukan gitu, Bu. Maksud gue, anu." Ruga menggaruk kepalanya. 

Aku tertawa dalam hati.

***

Belahan jiwa kofee adalah tempat yang harus kukunjungi sepulang sekolah ini. Berulang kali aku mencocokkan nama dan alamat kafe sesuai dengan pesan yang kuterima tadi. Setelah yakin, aku segera mendorong pintu kaca kafe. Begitu masuk, kafe bernuansa klasik ini tampak ramai dengan kerumunan anak sekolah. Netraku menjelajah seisi Kafe. Namun, tak kutemukan si pemilik pesan.

Setelah memesan kopi yang direkomendasikan di sini, aku segera berjalan menuju meja di pojok ruangan. Kebetulan hanya meja itu yang kosong. Aku menikmati secangkir coffe latte dalam diam seraya memandangi padatnya jalan di depan kafe.

Ingatanku terlempar pada dua tahun silam. Saat itu, jalanan juga tampak ramai. Asap hitam yang membumbung tinggi menjadi pemandangan yang menyebalkan siang itu. Aku, Zhizi dan lelaki itu berjanji akan pergi ke Time Zone. Hari itu adalah hari yang bersejarah. Ya, awalnya kupikir begitu. Ternyata memang sejarah yang mungkin tak akan pernah kulupa. Jika mengingat kejadian itu, aku berharap tak kan pernah memaksanya untuk pergi bersama. Tak kan pernah memaksanya untuk memenuhi keinginan konyolku dengan dalih sekali-kali saja.
Aku menyesal. Sungguh.

Aku ingat, kala itu dia melarang kami pergi. Aku bersikeras, bagiku menikmati waktu bersama adalah kesempatan langka. Sebab selama ini dia hanya sibuk dengan tumpukan berkas dan kameranya.

Tak ada yang dapat menebak alur apa yang akan terjadi hari itu. Kami bahagia, bercerita banyak hal seraya berjalan kaki. Saat sampai diujung jalan, Zhizi berbalik ke belakang. Aku berteriak histeris saat sebuah mobil melaju kencang ke arah Zhizi. Namun, tanpa di duga Zhizi terjatuh ke bahu jalan, menyebabkan luka pada tangan dan kedua kakinya. Aku menangis histeris, terlebih saat melihat lelaki itu tersenyum dengan tubuh bersimbah darah.

Marry Me, Bu Guru!Where stories live. Discover now