12. Tragedi Gorengan

4 2 2
                                    


Hari ini aku pulang terlambat. Kelas sudah berlalu satu jam yang lalu tetapi aku masih berada di lingkungan sekolah. Bukannya kerajinan, tetapi hari ini ada rapat para guru terkait ujian semester pertama yang sebentar lagi dilaksanakan.

Tadi, aku sudah mengabari Zhizi bahwa hari ini pulang terlambat. Bocah Lima tahun itu kini tak lagi protes, karena aku sudah menyuruh Swili untuk sementara waktu menemaninya.

Swili dengan senang hati membantu. Itulah hal yang paling kusukai dari gadis berhidung bangir itu.

"Lah, baru mau pulang?" tanya Pak Zendra yang sepertinya hendak ke parkiran.

"Iya, Pak."

"Panggil Bang aja. Kan, di luar jam sekolah."

"Iya, Bang En." Aku tersenyum canggung.

"Ada yang kurang?"

"Eh, apa?"

"Een, Ndut." Pak Zendra tersenyum manis.

"Abang mau dipanggil Een Ndut?" Aku membelalakkan mata. Bagaimana mungkin ia suka dipanggil seperti itu. sedangkan panggilan itu adalah ejekan untuk dia sewaktu kecil. Apalagi melihat penampilannya saat ini; bertubuh tinggi dan berbadan proporsional. Benar-benar tak pantas dengan panggilan itu.

"Iya. Bagi saya itu adalah panggilan kesayangan. Saya suka aja dipanggil lagi dengan sebutan itu. Rasanya, seperti kembali ke masa tujuh belas tahun yang lalu."

Percakapan kami terhenti ketika dering ponselku terdengar. Swili menelponku, mengatakan permintaan maaf karena tiba-tiba tak dapat menemani Zhizi. Wanita yang notabennya teman baikku itu mengatakan telah menelponku sejak tadi, tetapi tak kunjung masuk.

Setelah menutup telpon, gegas aku meminta izin kepada Pak Zendra untuk pulang. Kuungkapkan juga alasan kenapa harus pulang cepat. Untung saja, Pak Zendra mengerti. Ia bahkan menawarkan bantuan untuk mengantarku.

***

Aku bergegas masuk ke rumah dan mencari keberadaan Zhizi. Bocah berambut kucir dua itu bersedekap di depan pintu, mulutnya mengerucut.

"Zhizi, Mama pulang loh. Kok, enggak dipeluk?"

"Enggak mau! Mama bohong. Katanya enggak bakalan lama, ternyata lama ba-nget," omelnya.

Aku tertawa, mencubit pipinya dengan gemas. Lalu mulai menggendongnya.

"Zhizi marah sama Mama?"

Gadis kecilku mengangguk. Ia menenggelamkan wajahnya padaku.

"Kasihan. Pasti tadi anak Mama kesepian."

"Enggak!" jawabnya cepat.

"Eh?"

"Zhizi emang marah sama Mama, tapi Zhizi enggak kesepian kok. Kan, ada Papa!" ucapnya bersemangat.

Aku menautkan alis. Merasa janggal dengan apa yang Zhizi ucapkan barusan. Papa? Papa siapa? Apakah segitunya Zhizi merindukan papanya sehingga ia berhalusinasi?

"Papa, Ma. Papa ganteng yang ke sini selalu beliin Zhizi cokelat!" Zhizi tampak sumringah.

"Oh, ya. Apa Papa sekarang ada di sini?" tanyaku ragu.

"Ada, Ma. Papa lagi masak. Tadi Zhizi minta di masakin nasi goreng."

Deg!
Aku menelan ludah. Rasa penasaran sekaligus takut menjadi satu.

"Sebentar, Ma. Zhizi panggilin Papa. Pa!" teriaknya sembari berlalu ke dapur.

Aku tak hentinya menatap pintu dapur. Rasa penasaran itu kian berkecamuk menjadi satu. Rasanya, aku tak pernah mengajari Zhizi untuk memanggil siapa pun dengan sebutan Papa.

Marry Me, Bu Guru!Where stories live. Discover now