Say It First! | [11]

73.1K 10.2K 1.1K
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Chiasa sudah memutuskan untuk mengorbankan hari Minggunya demi kembali mendekati Janari. Dia harus menyelesaikan bab dua novelnya malam ini dan menyerahkannya kepada Lexi sebelum mendapatkan e-mail berisi tagihan. Jadi, tentang Janari, dia harus benar-benar menuntaskannya.

Chiasa harus mengetahui lebih banyak lagi tentang laki-laki itu, terutama tentang bagaimana dia memperlakukan perempuan—yang disukainya. Walaupun Chiasa tidak masuk menjadi salah satunya, tapi kebaikan hati Janari yang tidak pernah menolak apa pun yang dia inginkan—atau perempuan mana pun, harus dia manfaatkan sebaik mungkin.

Semakin sering dia berinteraksi dan mengorek segala hal tentang Janari di awal, semakin cepat risetnya selesai. Sehingga ke depannya, dia bisa menuliskan bab demi bab tulisannya dengan tenang tanpa riset ini-itu, tanpa perlu berinteraksi dengan Janari lagi.

Dan hari Minggu ini, seingatnya mereka memiliki janji pukul empat sore, tapi sejak pagi Janari tidak memberi kabar apa-apa dan tidak bisa dihubungi.

Oh, ayolah Janari, jangan jadi nggak kooperatif gini.

Selain karena tidak ingin hari Minggunya terbuang sia-sia, Chiasa juga ingin memastikan bahwa Janari benar-benar ingat akan janjinya. Jadi, sekarang Chiasa sudah berdiri di depan apartemen laki-laki itu dengan outfit yang sudah siap sekali untuk diajak jalan.

Hoodie warna army, pleated skirt, sneakers putih, dan sling bag. Chiasa tengah menunggu respons si pemilik apartemen untuk membukakan pintu setelah menekan bel, satu tangannya menjinjing paper bag berisi sekotak puding cokelat yang telah dibuatnya sendiri sebelum berangkat.

Anggap saja ini ucapan terima kasih karena selama ini Janari sudah bersedia dijadikan bahan riset—walau dia tidak mengetahuinya.

Pintu apartemen terbuka, menampilkan sosok Janari yang terlihat baru bangun tidur. "Chia?" Matanya mengerjap lemah, lalu menoleh ke belakang, melihat jam dinding. "Jam tiga. Kita janjian jam empat, kan?"

Chiasa mengangguk. "Iya. Lo ingat?"

"Ingat."

"Gue pikir lupa, soalnya dari pagi lo nggak bisa dihubungi."

"Gue ngerjain proyek semalem, sampai subuh. Baru tidur. Eh, mau masuk dulu, kan?" Dia membuka pintu lebih lebar, memberi ruang pada Chiasa untuk masuk duluan, sehingga menjadi orang yang menutup pintu.

"Terus, lo nggak bangun-bangun gitu dari subuh?" tanya Chiasa setelah membuka sepatu, menyisakan kaus kaki pendek ketika melangkah masuk. "Duh." dia sempat tergelincir ketika menginjak lantai berlapis parket licin dan mengilap itu.

"Pakai sandal aja, Chia. Di rak ada."

Chiasa memang melihat ada sandal rumah yang Janari siapkan khusus tamu di rak dekat pintu masuk, tapi rasanya tidak perlu. Dia mengikuti langkah Janari yang kini menuju pantri.

Say It First!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang