Say It First! | [14]

66.8K 9.9K 1.2K
                                    

Panggil aku bundadari karena aku baik hati

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Panggil aku bundadari karena aku baik hati.

***

Chiasa ke luar kelas dengan langkah lunglai. Hari ini, Jena mengikuti mata kuliah pagi karena ada kegiatan bersama HIMA, katanya ada kegiatan sosial di suatu daerah, yang Chiasa tidak tahu di mana.

Sepertinya, hanya Chiasa yang tidak lagi aktif berorganisasi selepas SMA. Itu yang menyebabkan dia tidak punya teman dan koneksi terlalu banyak di kampus dibandingkan yang lainnya.

Semuanya berkat Ray. Karena sejak mengenal Ray, Chiasa merasa tidak membutuhkan dunia dan seisinya. Terima kasih, Ray.

Chiasa berjalan sendirian setelah keluar dari gedung fakultas, lalu berjalan menepi agar tidak langsung tersengat teriknya matahari siang. Dua tangannya memegang ponsel, mengetuk-ngetukkan ke dagu pelan. Sejak kemarin, dia seperti kehilangan arah hidup karena kehilangan notes kesayangannya.

Di dalamnya, tidak hanya ada catatan list tugas kuliah, tapi juga catatan tulisan yang sedang dikerjakannya, atau catatan tentang apa pun. "Terakhir kan gue buka di rumah, terus gue masukin ke tas. Habis itu ke apartemen Janari," gumamnya sambil mencoba mengingat-ingat. "Tapi kan, di tempat Janari gue nggak buka-buka notes sama sekali. Apa mungkin merosot keluar waktu gue ngambil HP? Terus jatuh."

Langkahnya terhenti, gusar tiba-tiba menyerbu. "Nggak, nggak." Dia menggeleng-geleng kencanv, lalu berjalan lagi. "Nggak mungkin dan nggak boleh terjadi. Gila. Apa nggak bakal jadi mimpi buruk banget kalau sampai notes gue ditemuin Janari."

Pelan kakinya mengentak-entak sambil terus berjalan. "Duh, di mana siiih ah!" Wajahnya meringis, nyaris menangis.

Sebuah senggolan dari arah samping membuatnya terlempar dari area teduh ke area teriknya sinar matahari jam dua belas siang. Chiasa menoleh, dan mendapati Hakim tengah menyengir. "IH, HAKIM. PANAS AH. LO TUH!"

Chiasa menarik tangan Hakim untuk berganti tempat sehingga dia tetap berjalan di sisi yang teduh, menelusuri sisi dinding Fakultas Teknik.

Hakim terkekeh pelan. "Lagian, sendirian aja. Sedih amat hidup lo, Chia. Habis putus dari Ray lo baru sadar kan kalau dia itu brengsek banget dan udah bikin hidup lo kayak sebatang kara gini?" cibirnya.

Chiasa hanya mencebik. Dulu, waktu diajak untuk masuk HIMA oleh Jena, Chiasa menolak karena Ray tidak memberi izin. Padahal kalau dipikir-pikir, Ray juga merupakan anggota HIMA Fakultas Teknik, dia bebas mengenal banyak orang sampai bisa berkhianat dan terlepas dari pantauan Chiasa. "Nggak, tuh. Dengan begini gue merasa diri gue eksklusif karena nggak mudah didekati banyak orang," elaknya sambil mendelik.

Hakim hanya tertawa.

"Lo ngapain ke kampus gue?" tanya Chiasa. Sambil terus berjalan, dia berniat keluar dari kampus, tapi entah mau ke mana untuk menunggu jam mata kuliah selanjutnya yang baru dimulai pukul tiga sore.

Say It First!Where stories live. Discover now