[6] Perempuan Perebut

4.7K 517 61
                                    

Bukan lagi air bening yang mengalir dikedua pipiku, tapi pedang yang seakan menyayat membuat pedih.

-Alice Freya Afras-

Terpaku ia sembari menatap kue keju dengan nanar. Sekilas Alice memandangi kamar nomor tujuh itu sangat amat dalam, rumah kedua tempat Mamanya tertidur, saat ia merasakan makanan enak, tidur nyaman. Sang Mama terbelenggu di sini.

Menitik air mata Alice kala ia teringat lagi tentang Arin, wanita yang begitu amat ia cintai memaki dirinya. Memberontak di pelukannya, bahkan sering memukuli wajah putri yang tak lagi Arin kenal.

"Alice, silahkan masuk. Nyonya lagi tidur, jangan biarkan dia bangun," ucap suster yang di jawab anggukan oleh Alice.

Ia membuka pintu dengan perasaan yang teramat gamang. Bagaimana tidak, Darrel tak di sisinya hari ini.

Perlahan namun pasti, ia mencoba memberanikan diri, membuka lalu menyingkapi wanita yang sekarang tengah terlelap begitu damai.

"Ma, Alice bawa kue kesukaan Mama, Alice letakkan di nakas nanti Mama makan ya," Alice mengusap lengan Mamanya dengan lembut, namun, tetesan air yang terjatuh di sana membuat mata itu terjaga.

"Siapa?"

Alice mendelik. "Ma_"

"Kamu!" tunjuk wanita tua itu sembari bangkit dari duduknya, Alice memundurkan langkah lalu menempatkan tangannya di dada.

"Ini Alice Ma, anak Mama."

"Alice," panggilnya. Alice mengangguk.

"Ke sini sayang."

Seulas senyum merekah di bibir gadis yang tak mempercayai apa yang ia dengar barusan. Bergetar tubuhnya saat Arin memanggil sayang bahkan dengan gurat indah yang membingkai wajahnya.

"Mama ingat Alice?" wanita itu mengangguk. "Mama benar-benar ingat Alice?" meluruh lagi air matanya saat sang Mama mengangguk untuk yang kedua kali. Tak ada yang mampu Alice pikirkan selain beranjak untuk mempertipis jarak ke arah Arin.

Namun setibanya di sana. Bukan pelukan yang Alice terima, tapi lebih dari itu, tangan Arin terulur dengan senyum sumbing yang melingkari di kedua sisi bibirnya, sedetik, tangan itu mencekik leher Alice dengan kuat.

"Aakh, M-ma, s-sakit."

"Wanita jalang! Kamu perebut suamiku! Kamu berselingkuh di rumah yang kuhuni! Mati kamu jalang!" pekik Arin histeris, ia tertawa dengan penuh kemenangan. Ia ingin membunuh wanita yang berdiri di hadapannya ini, wajah yang teramat ia benci yang tak lain itu putrinya.

"M-ma," Alice memberontak saat tangan Mamanya begitu kuat mencengkram lehernya, semakin Alice mencoba melepaskan, kekuatan Arin tak tertandingi oleh Alice.

"Agh, t-tolong_"

"Mati kamu! Mati!"

Bruuk..

Dorongan kasar membuat Alice tersungkur ke lantai, terbatuk ia sembari menetralkan napas yang sedari tadi tak ia temukan oksigen, Alice menepuk dadanya, melihat sang Mama tersenyum begitu bangga setelah berhasil membuat goresan luka di sikut dan lehernya.

Beringsut Alice di lantai sembari tersedu. Ia raih jemari yang enggan untuk di sentuh. Arin angkat tangannya tinggi-tinggi lalu menelisik wajah Alice dengan cibiran. "Ma, ini Alice," gadis dengan segala rasa sakitnya terus memohon, ia terus meminta, namun sang Mama tak lagi mengenal dirinya. "Ini Alice," ia mengulang kalimat itu beberapa kali seraya mengusap air bening dan leher yang terasa amat sakit.

"Kamu perebut suamiku! Kamu selingkuh dan tidur di kamarku!"

Teriakan itu lagi, sakit lagi. Alice teringat semuanya seperti memori yang di putar-putar ulang. Inilah penyebab Mamanya hilang kewarasan, lelaki yang menjadi cinta pertamanya, memilih selingkuh.

"Ma_"

"PERGI!"

"PERGI KAMU JALANG!"

Netra Alice terasa memanas saat yang jatuh bukan lagi bulir-bulir air melainkan rasa sakit. Beribu kali ia menggores lengannya, beribu kali ia di maki oleh orang lain, kenapa teriakan sang Mama begitu membekas.

"Ma, apa Mama gak ingin Alice peluk lagi, kayak dulu Ma," Alice memiringkan wajah saat mata Arin tak teralih ke arahnya. "Mama mau Alice masakin ayam lagi, terakhir kali Alice memasak gak enak ya Ma, Alice udah belajar kok_" tenggorokan Alice tercetak, seperti benda tumpul yang tersangkut di sana, kelu mulutnya untuk sekadar mengadu, lagi-lagi bibir Alice bergetar menahan sesak.

"Alice rindu Mama, Mama rindu Alice gak?" begitu pelan seakan ia berbisik untuk dirinya sendiri.

"PERGI!"

Alice menyerah. Bangkit ia membawa keresahan, memudar tatapan sang Mama, kosong dan tak ter-arah.

Di saat langkah Alice terhenti, ia memutar wajah, melihat lamat-lamat wanita yang sekarang telah bercucuran air mata, menyeka sendiri, lalu tertawa sendirian.

"Siapa yang akan Alice salahkan Ma? Siapa yang akan Alice bunuh agar mama bisa sembuh? Siapa yang harus pergi dari dunia ini agar Mama bisa tenang?" Alice bergumam saat ayunan kakinya semakin ia percepat, berjalan Alice seakan duri di balik pijakkannya, sangat sakit dan begitu perih.

"Bima, Darrel di mana?"

-DARREL-

"Kita pulang sekarang ya, udah sore." saat Darrel berdiri, ponsel di dalam tas sandangnya bergetar, ia menghentikan pergerakan untuk melihat siapa yang menelfon.

Bima, nama lelaki itu yang tertera di layar ponsel.

"Hal_

"Lo dimana?"

"Gue sama Anna, kenapa?"

"Alice menelfon gue..."

Darrel mengangkat wajah, berdetak jantungnya saat ia teringat sesuatu yang tak seharusnya ia lupakan hari ini.

"Alice di halte depan rumah sakit tempat Mamanya di rawat_"

"Gue kesana sekarang! Jangan biarkan Alice pergi Bim, tunggu gue!" Darrel melirik Anna dengan gurat yang tak bisa ia mengerti, namun sangat ketara gadis itu tampak kecewa.

"Maaf Na, kakak gak bisa mengantarkan kamu pulang, kakak belum bisa ketemu sama Bunda hari ini," Darrel menarik napas yang kian memburu, ia merogoh saku celana lalu memberikan uang ratusan dua lembar ke tangan Anna.

"Kamu bisa pulang naik taksi kan. Kakak janji..., maaf, maksud kakak lain kali insyaallah kakak akan antar kamu pulang." tak ada jawaban, lebih tepatnya belum ada jawaban namun Darrel sudah bergegas pergi, meninggalkan gadis berkerudung itu dengan tatapan yang amat pelik. Ia lihat dan perhatikan punggung lelaki yang telah berlari dan menjauh.

Anna menunduk, sorot mata itu terfokus ke pada dua lembar uang yang Darrel selipkan di antara jemari tangannya. Anna remat uang pemberian dari Darrel begitu kuat seiring dengan dentuman hebat yang bergejolak di dalam sana.

"Baru beberapa menit yang lalu dia berjanji untuk menjaga Anna Yah. Sekarang dia udah ingkar, bahkan tepat di makam Ayah," lirih Anna sembari mengalihkan pandangan ke belakang, melihat sekali lagi nama sang Ayah yang tertulis di batu nisannya.

"Apa Ayah pernah mengingkari janji sama Bunda?" tanyanya. "Anna harap itu tak pernah terjadi."

"Meskipun Anna belum pernah melihat wajah Ayah, biarkan Anna mendengar tentang Ayah yang begitu Bunda bangga..."

... bukan sebaliknya!"

-DARREL-

Hai Darrel [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang