[55] Mama Mau Pulang, Kan?

167 10 3
                                    

Kehilangan ini menyakitkan. Dan memikirkannya saja membuatku tak mampu lagi berpikir.

---•••---

"Al."

Mungkin sudah lebih dari lima kali Bima memanggil nama yang lupa dengan namanya sendiri. Gadis itu hanya sibuk dengan ponsel dan terus memanggil nama di dalam sana, hanya saja panggilannya tak lagi terhubung.

"Alice!" Bima menyebutnya dengan lengkap hingga Alice menoleh. "Dia udah gede, pasti tahu jalan pulang. Jadi gak perlu berlebihan gini," ketusnya.

Ponsel dalam genggaman Alice ia tutup dan jemari itu terjatuh. Memandangi Bima yang telah ia terima untuk jadi pacarnya beberapa bulan yang lalu. Di sana, tempat parkiran yang sepi, mereka bersitatap.

"Gue takut kalau Darrel ngebut-ngebutan di jalan. Gue takut dia lepas kendali-"

"Lo gak mengenal Darrel? Berapa tahun kita bareng dia, lo masih belum mengenal siapa dia?"

"Bim-"

"Pacar lo gue, bukan dia. Yang harusnya lo khawatirin itu gue, bukan mantan lo itu," untuk pertama kalinya Bima berbicara keras pada Alice. Bukan tanpa alasan sebab, dari tadi Alice mondar mandir seperti orang gila memikirkan lelaki yang sama sekali tak memikirkannya.

"Harusnya lo ngerti Bim, Darrel dituduh menjadi seorang pembunuh dan sekarang Anna pergi ninggalin dia. Kalau lo ngerasa bareng dia dari lama, harusnya lo tahu peran lo sebagai seorang sahabat!"

"Terus, apa dia pernah menjalankan perannya dengan baik sebelum kita pacaran? Kalau lo meminta gue ada saat dia terpuruk, kenapa Darrel tak pernah datang saat gue terluka. Hah?"

"Bim?" Keterkejutan Alice menyadarkan laki-laki itu, menunduk ia lalu menempelkan kening pada bahu Alice dan berucap.

"Al, tolong cintai gue seperti lo mencintai Darrel. Tolong."

Terdengar seperti rintihan yang teramat pasrah. Hatinya meremuk tak lagi bisa ia rekatkan.

"Bim-"

"Gue tahu lo gak bisa mencintai gue, Al. Gue tahu penerimaan ini agar hati lo bisa sembuh dari Darrel. Gue tahu kalau saat ini peran gue hanya sebatas pelampiasan. Gue tahu. Tapi-" ucapan Bima terjeda, ia mengangkat wajah dan memandangi mata itu, mata yang tak pernah memancarkan cinta untuknya.

"Gue enggak," ungkapnya di balik kebisuan gadis itu. "Gue mencintai lo dari dulu, dari pertama kali gue ngeliat lo, gue cinta sama lo, Alice!" Bima menegaskan kata cinta yang membuat Alice terhenyak.

"Gue sakit saat lo berdua bareng Darrel, gue sakit saat lo menyebut nama Darrel setiap saat. Gue sakit saat lo lebih peduli padanya bahkan seperti sekarang, saat kita pacaran."

"Bisa gak sih Al."

Peryataan Bima terdengar sangat lirih dan dalam. "Hapus Darrel dari hati lo agar gue bisa gantiin Al, gue mohon."

Permohonan Bima berhasil meluncurkan segerombolan tangis yang tadi telah tertampung. Sesak beradu di sana dan Alice tak bisa mengendalikan perasaannya sendiri.

"Bima ..." panggil Alice, tersedu ia tanpa usapan sedikitpun dari Bima. "Gue juga sakit. Gue capek."

Perlahan, tubuh Bima mundur teratur. Teralih wajah itu ke samping menyembunyikan sakitnya.

"Bima-"

"Jangan terusin Al, kita pulang sekarang sebentar lagi pagar pasti ditutup."

"Bima-"

"Gue gak mau dengar!" Bima memasangkan helm dengan tergesa, berharap Alice akan mengikutinya, tetapi.

"Gue mau putus, Bim. Gue mau putus dari lo."

Hai Darrel [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang