EC 7

729 178 20
                                    

Hllow hallow again 🤣🤣
Himbauan, buat yg satu ini .... Tolong jangan nabung baca, soalnya aku pun nggak punya tabungan chapter 🤣🤣 ini yang terakhir. Jadi, dinikmatin aja proses kemageran author yg bikin gemas.

Selamat membaca, selamat penasaran dan selamat bergemas.

***

Azura terbelalak melihat namanya ada di punggung Jade. Rasa pening mendadak menyerangnya di segala penjuru saraf kepalanya. Kenapa bisa? Seumur hidup, Azura tidak pernah percaya pada kontrak tanam magister. Meski ia tahu bahwa mendiang kakeknya adalah salah seorang magister elit.

Oh, bukan. Kakeknya malah seorang kepala menara sihir saat itu.

Meski syok, Azura segera menarik napas dan memperbaiki eskpresi. Memasang kembali wajah tenangnya. Sepengetahuan Azura, kontrak megister bisa dilakukan karena kedua belah pihak setuju. Seperti kasusnya dengan Gehna. Setelah Gehna bersumpah dan Azura menerimanya, barulah tanda kontrak akan muncul.

Nama dari pemilik si magister tersebut.

Jangan bercanda, maki Azura dalam hati. Meski Jade benar-benar orang gila, tetapi pria ini terlihat sakit jiwa. Tidak lucu bagi orang lain menatap bagian tubuh di mana tertulis namanya, tetapi mereka tidak pernah mengenal sebelumnya.

"Ada Anda punya dendam pada saya, Baginda?" tanya Azura dengan pandangan tidak terima. "Jika Anda punya keluhan pada saya, seharusnya Anda bilang. Tidak perlu melakukan hal-hal dengan memalsukan kontrak magister dengan nama saya."

Jade mendengkus dan berbalik pada Azura. "Kau pikir aku cukup gila untuk membuat ukiran nama orang lain di punggungku, padahal aku tidak mengenalnya?"

Azura tidak membuka mulut. Namun, dalam hati ia mengiyakan ucapan Jade. Bukan hanya sekadar gila, Jade yang lama terkurung di menara sihir dan jauh dari orang-orang yang harus mengelilinya selama ini ternyata hilang kewarasan dan jiwanya.

Azura tercekat menangkap ukiran bunga Azure di dada kiri Jade.

"Apa itu sebabnya Anda mengurung ayah dan menyerang saya?"

Jade melirik pada dada kirinya. Kemudian memandang Azura. "Aku lahir jauh sebelum dirimu dan Marquess mengetahui itu."

"Jadi, Anda marah karena nama saya Azura Charteus karena kontrak tanam di punggung Anda? Anda marah karena berpikir kalau Ayah sengaja menamai saya sesuai kontrak tanam Anda?"

Jade tidak menjawab dan itu cukup menjadi jawaban untuk Azura menyimpulkan bahwa ucapannya benar.

"Tetapi itu bukan alasan untuk menyerang saya, Baginda." Azura menatap tajam dan tangan kirinya menganggam gagang pedang di sabuknya. "Kontraknya tidak akan bekerja jika saya tidak menerimanya."

"Apa kau tahu sesuatu tentang kontrak tanam selain mitos yang kau percaya itu?" tanya Jade dengan nada dingin. Pria itu melangkah selangkah demi selangkah mendekati Azura yang mundur dengan gerakan sama. "Setiap malam setelah aku berusia tujuh tahun, tanda di punggungku terasa sakit membakar. Bahkan aku pernah berpikir untuk mati saja dari pada mengalami penyiksaan semacam itu."

Dug!

Azura menabrak salah satu pilar gazebo. Ia melirik pada dinding rambat yang menutupi gazebo, berpikir untuk menerobosnya saja.

"Bukankah wajar jika aku marah pada orang yang mengambil keuntungan akan kelemahanku?"

Azura mendongak pada Jade, matanya menantang penuh amarah. Ia tidak mau dituduh sembarangan. "Anda bicara seperti itu, apa ada bukti bahwa Ayah tahu tentang kontrak tanam Anda? Jika tidak, sebaiknya jangan memberikan serangan tanpa alasan, Baginda."

Emperor ContractWhere stories live. Discover now