4. Harel anak Mami?

649 122 29
                                    

Setelah mengantar Dzaka pulang, Harel pergi ke halte untuk menunggu bus terakhir di jam 8 malam. Sesekali Harel melirik jam tangannya kemudian menghela nafasnya yang hangat.

Ketika di halte, Harel duduk. Bengong untuk beberapa saat, hingga ketika matanya menatap minimarket depan membuat dirinya kembali berdiri dan berjalan ke arah minimarket.

Kling.

Kasir hanya menatap Harel sejenak sebelum kembali berbicara dengan rekan kerjanya. Lelaki itu tidak perduli, dan memilih untuk mencari minuman segar seperti coca-cola. Setelah mendapatkannya, Harel ke kasir, membayar.

"Harganya 12.000."

Harel merogoh sakunya. Kemudian menaruh uang 50.000-an dan langsung pergi begitu saja membuat kasirnya menganga. "Mas! Kembaliannya!"

Tapi Harel bahkan sudah menghilang dari depan pintu minimarket. Lelaki itu duduk kembali di halte dengan botol coca-cola dia teguk dengan kepala sedikit mendongak. Menghabiskan setengah isi.

Bus berhenti di depannya. Harel masuk ke dalam bus dengan tudung sudah menutupi kepalanya. Lelaki itu duduk di dekat jendela, dengan wajah langsung menghadap ke kaca. Menatap jalanan kota Bekasi yang sepi dan tenang.

"Kau tau tidak? Harel Adrian ada di Bekasi. Katanya, pindah sekolah."

"Harel Adrian? Anak pengusaha PT. Gas alam Baron itu?"

"Iya. Pindah dari Kalimantan kesini."

Kedua tangan Harel mencengkeram kuat celananya. Getaran yang dia sembunyikan tak membuat wanita tua yang duduk di sebelahnya ―ada jarak untuk jalan, tidak melihatnya.

"Hei Nak, kau tidak apa?"

Kalimat itu membuat dua siswi remaja itu menoleh ke arah pandangan si Nenek. Tatapan kedua remaja itu aneh dengan kening berkerut. Proposinya tidak aneh, familiar di mata mereka.

"Tidak, tidak, tidak, mana mungkin Harel naik bus." Kekeh siswi itu menggelengkan kepala pelan sambil menatap kembali ponselnya. "Kalaupun iya, seharusnya dia tidak sendiri. Paling tidak sama pengurusnya."

"Ah iya, Harel walaupun tubuhnya proposional, tapi sayang anak Mami."

"Aku turun disini." Kata Harel berdiri, membuat dua siswi itu reflek menatapnya. Harel berjalan ke arah supir, mengeluarkan uang sejumlah 20.000 sebelum akhirnya keluar dari dalam bus di tengah perjalanan.

"Dia.. bukan Harel kan?"

***

Pagi-pagi di sekolah, Jaival Janam, laki-laki basket itu sudah membuat histeris ketua kelasnya karena kenakalan yang dia buat pagi ini.

"Jai! Jangan rusuh! Kelas lagi berantakan!!" Teriak ketua kelas marah, mukanya sudah mengerut kesal.

Sedangkan Jaival hanya terkekeh, "Oke-oke, gua gak akan rusuh lagi." Cengirnya di akhir kalimat kemudian memilih duduk tenang di kursinya. Tatapan ketua kelasnya masih menuju tajam ke arahnya, membuat Jaival pura-pura mengerjakan tugasnya.

"Huh! Rusuh saja." Sungut ketua kelas kembali memegang gagang sapu.

Usai membereskan kelas, semua siswa-siwi duduk di kursi masing-masing menunggu guru Matematika masuk. Ketua kelas melihat ke arah sekitar, melihat satu bangku yang belum terisi.

"Jai, Lo tau siapa yang duduk di belakang kursi Lo?" Tanya ketua kelas sedikit sewot. Jaival menoleh ke belakang, kemudian bergumam cukup lama. "Cepetan, Jai!"

Sweet LifeWhere stories live. Discover now