7. instrumen lagu kita

445 82 8
                                    

Sebelum Harel berhasil pergi ke rooftop, lelaki itu di panggil Guru Kesiswaan, sehingga dia lebih dulu pergi ke ruang BK untuk konsultasi. Sebenarnya Harel ingin buru-buru ke rooftop supaya Dzaka tidak menunggu lama, tapi karena Guru yang memanggilnya, dia harus mengurungkan niatnya.

Nanti saat selesai, dia akan langsung menghampiri Dzaka dan meminta maaf karena membuat lelaki menunggu.

"Intinya kamu sudah benar-benar sehat hari ini, Harel Adrian?" Tanya Guru Kesiswaan di angguki Harel dengan cepat. "Bagus seperti itu. Tapi yang Ibu herankan, kenapa hanya satu hari? Kamu benar-benar sakit atau hanya alasan?"

"Itu.." Harel menggaruk kepala belakangnya, mencoba mencari jawaban yang tepat. "Kemarin saya hujan-hujanan, jadi demam. Tapi tidak terlalu parah, makanya hari ini bisa masuk sekolah lagi."

Guru Kesiswaan itu menganggukan kepalanya. Alasan Harel cukup masuk akal. "Hari ini konsultasi kamu sudah Ibu catat. Satu hal yang perlu kamu ingat, kamu sudah berada di tingkatan akhir, jadi sebisa mungkin masuk sekolah jika memang bisa. Mengerti?"

Lagi-lagi Harel hanya mengangguk. Saat dirinya di perbolehkan keluar, Harel langsung berlari, melesat dengan cepat ke rooftop. Meskipun nafasnya engap, tapi rasa bersalahnya karena membuat Dzaka menunggu lebih membuatnya khawatir.

Pintu rooftop yang dibuka cukup kuat membuat Dzaka terkejut. Dia menoleh, melihat Harel yang berlari lagi ke arahnya dan langsung duduk di sebelahnya kemudian memeluk lelaki itu.

"Maaf buat Dzaka nunggu."

Dzaka berkedip merasa aneh. Tapi dia hanya menganggukan kepalanya sehingga Harel melepaskan pelukan. "Ini bekalnya." Dzaka menyodorkan kotak makan di tangannya dan memberikannya pada Harel. "Habisin."

Harel menunjukan jari jempolnya dengan senyum dan anggukan. Dzaka terkekeh pelan, lalu memperhatikan Harel yang mulai memakan masakannya.

Sesuap dia makan, Harel menyodorkan suapan berikutnya ke arah Dzaka. Laki-laki itu membuka mulutnya, dan membiarkan Harel menyuapinya.

"Enak, kan?" Tanya Harel membuat Dzaka mengangguk dengan senyuman tertahan. "Mau tau ga siapa yang masak?" Harel mendekatkan wajahnya, dan mencubit pelan pipi lelaki di depannya. "Pacarnya Harel."

Dzaka langsung memalingkan wajahnya, sedangkan Harel melanjutkan makannya sambil melihat ke arah Dzaka yang masih salah tingkah karena ucapannya.

"Dzaka malu ya?" Tanya Harel dengan suara menggoda, jari telunjuknya terus memencet pipi lelaki itu yang mengembung. "Kalau malu cium pipi kanan Harel, kalau ga malu cium pipi kiri."

Satu detik ketika Harel selesai bicara, Dzaka langsung membalikkan wajahnya dan mencium pipi kanan Harel membuat lelaki bermarga Baron yang terkejut itu diam.

"Makannya habisin, jangan diam terus." Ucap Dzaka. Matanya menatap Harel yang masih diam. Senyum jahilnya terbit, dia mencolok-colok pipi Harel dengan jari telunjuknya. "Harel kenapa? Harel malu ya?"

Harel terkekeh pelan, lalu kembali memakan masakan Dzaka. Angin segar membuat keduanya diam merasakan terpaan dingin. Usai makan, Harel menggenggam tangan Dzaka hingga lelakinya menoleh ke arahnya.

"Makasih bekalnya. Aku suka."

Dzaka hanya mengangguk dengan senyuman manisnya. "Kalau Harel suka, Dzaka bisa bawaain terus. Mau?" Tawar lelaki itu di angguki Harel.

"Oh ya Dzaka," Harel tiba-tiba teringat, dia menoleh menatap Dzaka yang juga menatapnya. "Nanti sepulang sekolah, ikut aku ya?"

***

Sweet LifeWhere stories live. Discover now