5. kalau sakit, bilang

746 118 11
                                    

"Gak perlu, Na."

"Berisik ih, udah nurut aja." Balas Ketua kelas itu kekeuh mengajak Dzaka ke rumah Harel. "Lagipula, gua udah tau kok, kalau lo sama Harel pacaran."

Sontak, Dzaka langsung menoleh ke arah Yana dengan mata membola. Hal itu yang membuat Yana terkikik geli, "Padahal gua cuma nebak, eh bener ya?" Tawa ejekan Yana berhasil membuat pipi tumpah Dzaka panas.

Kepala Dzaka menoleh ke jendela bus, tidak mau sampai temannya itu melihat pipinya. Sebenarnya di ajak untuk bertamu ke rumah Harel.. Dzaka malu berat. Banyak yang Dzaka dengar soal keluarga Harel, dan itu membuatnya grogi.

Banyak spekulasi buruk di pikirannya, tentang Harel yang tidak boleh berpacaran. Atau.. Harel yang tidak boleh dekat dengannya karena sudah memiliki yang lebih baik? Nah kan.. sudah negatifthinking aja, padahal ketemu pun belum.

"Ka, ayo." Ajak Yana sejak tadi. Dzaka berkedip bingung, kemudian kaget saat tangannya di tarik Yana turun dari bus.

Matanya membola, melihat kawasan komplek. Asri, nyaman dan sejuk. Yana yang melihatnya, terkekeh pelan. "Sana cari rumah Harel. Yang nomor A-13." Kata Yana membuat Dzaka terkejut.

"Sama kamu kan?"

"Nggak lah." Yana mengibas rambutnya, "Males, nanti jadi nyamuk." Lidah Yana terjulur mengejek kemudian berlari pergi, sambil melambaikan tangan. "Semangat carinya!! Ohiya, rumah Harel blok 5!!" Teriaknya tersenyum lebar.

Dzaka menelan salivanya, "Yana jahat.." cicitnya pelan. Kakinya kembali mengarah ke wilayah komplek. Tatapannya bergetar, jari-jarinya berkerut. Dzaka takut, dia gugup, dan grogi.

"Huft.. demi Harel." Tegasnya setelah menarik nafas dalam. Sepatunya mulai menapak pada aspal komplek. Kepalanya menoleh kanan-kiri, mencoba untuk mencari nomor rumah yang Yana berikan.

Blok 5

Mulai melangkah lagi setelah bermenit-menit berjalan, Dzaka mulai mencari nomor 13 di blok 5. Hingga tubuhnya berdiri di depan rumah berlantai dua dengan desaian minimalis namun menjerumus ke elegant. Berwarna cokelat muda yang di padukan putih pasir, juga sejumput rumput hijau terawat menjadi taman.

"Ini rumah Harel kan.." gumam Dzaka menegak salivanya gugup.

Kemudian seorang wanita berkacamata hitam dan putrinya, keluar dari dalam rumah. Adik manis itu menggoyang pelan tangan Mamanya dan menunjuk ke arah Dzaka. "Ada temen Kakak Ma." Ucap adik Harel, Ariel.

Mama membuka kacamatanya sedikit dan melihat Dzaka yang memang menggunakan baju serupa dengan milik Harel, Putranya. "Kamu panggil Abang, biar Mama yang samperin dia." Suruh Mama di angguki cepat oleh Ariel yang buru-buru masuk kembali ke dan rumah.

Begitu Putrinya pergi, Mama berjalan menghampiri Dzaka. "Hai.. teman Harel ya?" Sapa Mama tersenyum manis

Dzaka sedikit tersentak, tapi dia mengangguk pelan membuat Mama terkekeh. "Harel ada di dalam, kamu masuk saja yu." Ajak Mama. Dzaka berkedip sekali, lalu ikut Mama masuk ke dalam rumah.

Ini canggung, serius.

"Ini temennya Harel Pa." Mama mengenalkan Dzaka pada Papa Harel, membuat Dzaka memberikan senyuman canggung yang kaku.

Papa tersenyum kecil, "Jenguk Harel?"

"I-iya." Jawab Dzaka pelan, merundukkan kepalanya canggung. Mama dan Papa kompak terkekeh.

Kemudian mereka bertiga mengalihkan atensi ke arah tangga begitu mendengar suara tapakan kaki. Tatapan Dzaka langsung tertuju ke arah Harel yang turun dengan kaos putih polos dan celana boxer hitam. Kemudian Dzaka mengalihkan atensi, karena ketahuan memperhatikan Harel.

Harel hanya terkekeh, dan menghampiri Mama dan Papanya. "Kalian berangkat saja, bawa Bibi sekalian. Harel.. udah ada yang jagain kok." Ujar lelaki itu tersenyum tipis menatap Dzaka yang masih membuang pandangannya.

Mama dan Papa berdiri dari sofa. Tangan Mama mengelus rambut putranya, "Mama tinggal, Harel jangan telat makan dan minum obatnya." Kata Mama di angguki Harel.

Setelahnya Mama Papa dan Ariel pergi dari rumah. Harel menutup pintu rumah, dan menghampiri Dzaka, duduk di sebelah lelakinya. Lelaki itu langsung menidurkan diri dengan kepalanya di atas paha Dzaka.

"Harel manja." Ledek Dzaka mengusap rambut Harel lembut. "Harel demam karena kemarin nganter Dzaka pulang sampe malam?" Tanya Dzaka membuat Harel kembali membuka matanya, dan menggeleng pelan.

"Harel emang sakit dari dua hari lalu, cuma baru sekarang parahnya." Harel menjelaskan dengan tatapan lembut juga tangannya yang terangkat, mengusap pipi kekasihnya. "Bukan salah Dzaka, tapi salah Harel yang gak bilang."

Dzaka yang awalnya diam mendengarkan, langsung merubah ekspresinya cemberut. "Kan sudah Dzaka bilang, Harel itu harus bilang kalau sakit, gak boleh diem aja." Tegas Dzaka mengerut kening tajam.

Bukannya takut, Harel tertawa lucu melihat ekspresi kekasihnya. "Ampun deh, Harel gak akan gitu lagi." Ucap Harel meminta maaf dengan ekspresi memelas, membuat Dzaka tersenyum lebar dan memberikan kecupan di pipi Harel.

Kedua remaja itu diam. Yang satu sibuk mengusap rambut kekasihnya, yang satu sibuk merasakan usapan sambil memejamkan mata. Kemudian telfon Harel berdering, membuat lelaki itu mengambil ponselnya dan mengangkat panggilan dari Mama. "Ya?"

"Harel makan."

"Hh.. gak usah di ingetin, Harel juga bakal makan kok." Keluh Harel malas. "Yaudah Harel tutup dulu, bye Ma."

Usai di tutup, Dzaka buru-buru bangkit dari Sofa membuat kepala Harel terjun ke sofa begitu saja. Lelaki Baron itu mengerutkan keningnya melihat kekasihnya pergi ke dapur. "Dzaka, mau ngapain?"

"Masakin Harel!"

Harel berkedip, kemudian senyumnya terbit. Dia menutup aplikasi pengantar makanan cepat saji, dan pergi ke dapur. "Masak apa?" Harel bertanya, memeluk Dzaka dari belakang.

Dzaka hanya terkekeh, "Nasi goreng aja. Harel suka?"

Spontan Harel mengangguk cepat, membuat Dzaka bersemangat memasak nasi goreng untuk Harel.

Selesai memasak, Dzaka menaruh piring itu di meja ruang tengah dan mendudukkan diri di sofa. Dia menatap Harel yang bersandar di sofa dan memegang keningnya sendiri sembari meringis sakit.

"Harel.. sakitnya makin parah?" Tanya Dzaka cemas, mengusap kening Harel yang panas, basah oleh keringat.

Kepala Harel menggeleng pelan. "Cuman belum makan aja." Jawab Harel membuat Dzaka buru-buru mengambil piring dan menyuapkan sendok nasi ke mulut Harel.

"Ayo makan, Dzaka suapin." Kata Dzaka tersenyum manis. Harel menunjukan senyumnya dan langsung memasukkan sendok suapan kekasihnya ke mulutnya. "Harel cepat sehat ya. Kalau sakit bilang. Kalau kaya gini lagi, Dzaka ngambek sehari." Ancam lelaki manis itu membuat Harel terkekeh gemas.

"Lucu banget sih pacarnya Harel." Gemas Harel mencubit hidung Dzaka. "Yaudah, sekarang kalau ada yang sakit, gak boleh sembunyiin apapun."

"Iya." Dzaka setuju, tersenyum manis.

Sweet LifeDonde viven las historias. Descúbrelo ahora