11. menjauh

307 49 0
                                    

Cklek.

"Abang pulang!"

Mendengar seruan putrinya, Mama Harel menoleh sekilas ke arah pintu sambil memotong sayuran untuk makan malam. "Langsung mandi ya, Rel. Habis itu istirahat. Nanti Mama panggil kalau waktu makan malam." Suruh Mama sibuk memasukkan potongan sayuran ke dalam air mendidih.

"Iya.." Jawab Harel lesu.

Ariel mengerutkan alisnya melihat mood Kakak yang tidak baik. Lantas dia turun dari sofa, berlari kecil menghampiri Harel. Dia diam memperhatikan wajah Harel yang lesu. "Mama! Abang—"

"Stt!" Bisik Harel menutup mulut adiknya cepat. "Jangan ngadu." Ketusnya.

"Mmh!" Balas Ariel mengangguk. Harel melepaskan bekapannya kemudian berdiri setelah melepas sepatu serta kaos kakinya. Dengan tali ransel di satu bahu, Harel pergi menaiki tangga dan masuk ke dalam kamar. Sedangkan Ariel mengelap mulutnya sendiri, menatap Harel dengan wajah ditekuk.

Saat di kamar, Harel menaruh tasnya di meja belajar kemudian dirinya duduk di sisi kasur. Helaan nafas beratnya keluar. Kedua tangannya mengusap wajahnya juga mengusak rambutnya. Dia langsung menjatuhkan punggung di kasur. Matanya memperhatikan langit-langit. Sebenarnya, pikirannya sedang berputar-putar pada kejadian di sekolah tadi.

"Hari ini mau makan di rooftop atau—"

"Aku makan sendiri."

Dzaka melangkah lebih cepat dari langkah kaki Harel. Punggungnya semakin jauh, dan hilang karna belokan. Kening Harel mengerut. "Tumben makan sendiri." Gumamnya bingung.

Sejak di pelajaran tadi, Dzaka juga tidak banyak meliriknya padahal mereka sudah dapat kesempatan sebaris. Harel tidak bisa positif thinking di saat Dzaka selalu saja menghindarinya. Ini sudah terjadi saat Dzaka keluar dari ruang ganti setelah jam pelajaran olahraga.

Ada yang tidak beres.

"Yana!" Panggil Harel mengejar Yana yang jalan ke kantin bersama teman perempuannya. "Gua mau tanya soal Dzaka."

"Dzaka?" Ulang Yana heran. Kemudian tak lama, wajahnya beringsut paham. Gadis itu menatap temannya, "Lo duluan aja. Gua mau ngomong sama Harel sebentar."

"Oke."

Setelah temannya pergi, Yana menatap Harel. "Tadinya gua yang mau tanya sama Lo. Si Dzaka dari jam pelajaran olahraga selesai, ga berhenti bengong. Gua kira dia ada masalah sama Lo. Taunya Lo sendiri juga gatau." Yana menghela nafasnya, "Apa jangan-jangan dia ada masalah sama—"

Harel mengangkat satu alisnya mendengar ucapan Yana yang berhenti tiba-tiba. "Dzaka punya masalah sama siapa?"

Yana berdekhem singkat, dengan mata panik. "Ga ada. Pokoknya gua gatau Dzaka kenapa. Lo tanya aja sama dia." Pungkas Yana kemudian memilih berjalan kembali. Namun belum selangkah, Harel menahan pergelangan tangannya.

"Dia menghindar dari gua." Kata Harel memberi tau.

Yana melepas pegangan Harel kemudian menghela nafasnya kembali. "Kalo emang dia menghindari Lo, sebaiknya Lo jangan dekati dulu. Tenang aja, selama dia ga kasih tau Lo masalahnya apa sama diri Lo, berarti bukan Lo masalahnya. Dia cuma butuh waktu sendiri. Dia punya kendala yang gabisa dibagi orang lain."

"Tapi gua—"

Harel menelan salivanya. Kemudian membuang wajahnya, "Tapi gua sahabatnya."

Yana terkekeh singkat, "Gua yang sahabatnya aja ga dikasih tau?" Ucap Yana senasib. "Yaudah. Intinya jangan dekati dia dulu. Selama dia ga ngomong Lo itu masalahnya, berarti emang bukan Lo."

Tangan Yana kini menepuk bahu Harel, "Dzaka tipe orang yang ga ribet. Kalau dia emang punya masalah sama orang, dia pasti bakal bilang sama orang itu langsung." Kata Yana tersenyum tipis. Gadis itu lalu melangkahkan kakinya menjauh dari Harel.

Laki-laki itu sedikit lega. Kelihatannya, ada sesuatu yang Dzaka sembunyikan. Tapi selama dia bukan masalahnya, tidak apa-apa memberikan Dzaka waktu untuk sendiri. Dia akan jadi pacar pengertian, dan tidak memaksa.

"Ya.. semoga Dzaka bisa membaik secepatnya. Gua gabisa jauh-jauh kalo lama."

Awalnya Harel tidak mempermasalahkan. Namun ketika bel pulang, Dzaka tiba-tiba menghampirinya dan mengajaknya bicara. Ketika mereka sampai di belakang sekolah, Harel merasa akan ada hal buruk yang akan dia dengar dari Dzaka.

"Selama dia ga ngomong Lo itu masalahnya, berarti emang bukan Lo."

Dalam hati Harel terus bertanya. Dzaka bukan bicara soal dia yang bermasalah kan? Kalaupun benar, dimana salahnya? Harel penasaran, tapi takut juga.

"Dzaka?"

Memberanikan untuk menyebut nama Dzaka sangat membuat jantungnya berdegup kencang. Kalau-kalau benar dia yang bermasalah, dia akan langsung memperbaikinya. Apapun. Walaupun itu hal yang menurutnya biasa saja, atau hal yang tidak sengaja dia lakukan.

Asal Dzaka tidak mempermasalahkannya lagi dan tetap berhubungan baik dengannya.

"Harel, soal hubungan kita.. bisa kita break?"

Pertanyaan Dzaka seolah membuat jantungnya berhenti sesaat. Terlalu menakutkan didengar. Juga terlalu mengejutkan. "Tunggu." Harel menarik nafasnya dalam, mengontrol emosinya. "Kasih tau aku sekarang, dimana salahnya. Aku bakal perbaikin semaksimal mungkin. Kamu ga suka sesuatu yang aku lakuin? Atau—"

"Harel, kita break bukan putus." Dzaka mengulang, membuat ucapan Harel berhenti. Wajah Dzaka murung, terlihat sulit dalam kondisinya sendiri. "Kita butuh mikirin kondisi hubungan kita sekarang. Ga mungkin kita terus Deket. Itu sama aja kasih kode ke mereka kalau kita punya hubungan lebih dari sahabat." Jelas Dzaka sedikit ragu.

Keduanya sama-sama hanya diam kembali. Cukup lama sampai Harel menghembuskan nafasnya berat, "Jadi kamu masih mikirin itu? Bukannya kita sepakat untuk ga akan mikirin itu kalau ga ada gosip apapun?" Singgung Harel mengingatkan Dzaka pada kesepakatan mereka di rooftop beberapa hari lalu.

Dzaka menelan salivanya. Terlalu takut untuk mengatakan jika Jesel yang membuatnya kembali berfikir ulang. Jika Jesel sendiri sudah merasa aneh dengan hubungan dia dan Harel. "Aku.. cuma mikir sekali lagi, sebelum ada gosip, lebih baik—"

Tanpa mendengar ucapan Dzaka lagi, Harel memeluk lelaki yang lebih pendek darinya. Lebih kecil dari tubuhnya. Memasukkannya ke dalam pelukan bukan hal yang mudah. Mengaitkan kedua tangannya dengan mengunci pinggang lelaki itu mudah. Bahkan mencium wangi rambut lelaki itu mudah.

Hanya saja, hubungan mereka terasa sulit.

"Kalaupun udah jadi gosip, memang Dzaka mau pisah dengan Harel?"

Kepala Dzaka langsung menggeleng kuat. Jawabannya membuat Harel terkekeh dengan senyum tipis. "Jadi, kalau udah ada gosip, Dzaka mau apa sama hubungan kita? Putus?"

"Nggak."

"Terus? Apa yang berubah?"

Dzaka tidak menjawab. Lelaki itu bungkam. Dia juga tidak ingin apapun terjadi pada hubungan mereka. Tapi jika gosip sudah beredar, Dzaka hanya takut..

Kedua tangan Dzaka mendorong dada Harel menjauh hingga dia dapat melepaskan diri dari pelukan pacarnya. "Kita break dulu. Hubungan kita butuh waktu untuk kepastiannya. Aku ga mau sampai ada gosip." Tekan Dzaka kemudian berbalik badan memunggungi Harel dan pergi begitu saja.

cklek.

"Abang, ayo makan." Ajak Ariel menyadarkan lamunan Harel. Laki-laki itu semula dalam posisi tiduran itu, membangkitkan punggungnya.

"Abang ganti baju dulu. Habis itu turun."

"Oke!" Ariel kembali menutup pintunya.

Bukannya bangkit, Harel justru kembali merenung. Pikirannya masih tentang Dzaka. Sekarang, negatif thinking menguasainya. Dia tidak ingin berfikir seperti ini, namun gelagat Dzaka terlihat memang seperti apa yang dia pikirkan.

— jika Dzaka, malu memiliki pacar sesama jenis jika ada gosip tentang hubungan mereka.

Sweet LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang