Bagian Ketiga (Goresan Pena dan Dentingan Piano)

975 172 28
                                    

“Ada banyak rencana yang sudah sang takdir persiapkan untuk mendekatkan dua orang yang ditakdirkan untuk tumbuh bersama.”

🥀🥀🥀

Riki absen hari ini. Seakan sengaja menghindari hukuman lanjutan yang belum selesai di hari sebelumnya. Luka sendiri tampak nyaman dalam balutan baju olahraga, sibuk menyapu rumput-rumput yang sudah dipotong oleh Gara.

Setelah memotong rumput, Gara terlihat meregangkan jemarinya beberapa kali kemudian menatapnya sedikit lama. Luka menyadari itu kemudian melempar sapu lain di dekatnya kea rah Gara.

“Daripada lo liatin tangan lo begitu. Mending bantuin gue.”

Gara mengerutkan kening kemudian menggeleng. “Bagian gue udah.”

“Sama aja, lo nggak boleh balik sebelum semuanya selesai. Lo mau duduk anteng aja liatin gue?”

“Iya,” jawab Gara tanpa berpikir.

“Emang nggak ada solidaritasnya lo jadi orang.” Luka mendumel sembari menyapu dengan gerakan kasar.

Gara mendudukkan dirinya di bawah pohon, bersandar kemudian menatap lurus ke arah langit yang tampak cukup cerah hari ini. Banyak hal berlarian dalam pikirannya. Tentang Revan dan kedatangannya kemarin.

“Eh, gue kemarin lihat akun Insta lo,” ujar Luka tiba-tiba, “gue pikir lo tukang pukul doang. Ternyata tu tangan bisa dipakai buat yang lain juga,” sambungnya.

Gara menatap tangannya sendiri kemudian tersenyum tipis.

“Gambar lo bagus. Tapi auranya sendu banget, galau lo?” Gara menghela nafas. “Hidup bukan perkara galau karena pacar doang.”

“Anjay, belum pernah pacaran lo? Kayaknya sensi banget.”

“Banyak hal lain yang harus lo pikirin selain galauin pacar.”

Luka mengangguk-angguk. “Iya-iya tahu. Gambar lo itu bisa gue rasain ngomong-ngomong.”

“Apa yang lo rasain?”

“Sepinya,” jawab Luka cepat, “itu 'kan yang mau lo sampein? Goblok begini gue paham.”

Gara tiba-tiba memikirkan semua gambaran yang dia unggah. Orang lain bisa menyadarinya dengan begitu mudah. Tapi kenapa satu akun yang dengan saja ia tandai di setiap postingannya, tidak mencoba untuk mengerti.

“Saran gue ya, Lo harus banyak jalan sama gue. Biar hidup lo rame gitu nggak sepi lagi. Lo mau berantem, gue temenin. Lo mau bolos nih, gue ikutin.”

“Bukannya itu semua kesukaan lo juga?” potong Gara cepat. Luka cengengesan. “Bener sih.”

“Mau sama gue atau nggak, juga bakal tetep lo lakuin 'kan.”

“I-iya.” Luka tidak mengerti kenapa ia gugup. Tapi Gara dan suara rendahnya benar-benar mengintimidasi. “Gue nggak tau maksud lo itu mau jadiin gue partner bolos atau apa. Intinya, jangan repot-repot. Gue sama sekali nggak tertarik jadi partner ataupun temen lo. Jangan terobsesi sama siswa bermasalah di sekitar lo. Karena nggak semua dari mereka ngelakuin hal buruk buat seneng-seneng kayak yang lo lakuin.”

Gara awalnya tidak menyadari perubahan ekspresi dari Luka. Tapi tepat saat Luka menatap tajam ke arahnya sebelum melempar sapu mengenai dahinya dengan cukup keras, Gara tahu ia sudah salah berbicara.

Gara menyentuh dahinya perlahan dan mendapati darah segar di sana. Tidak sakit, tapi darah itu membuktikan seberapa keras lemparan Luka beberapa saat lalu.

“Kenapa lo marah?”

Luka menarik kerah seragam yang Gara kenakan sampai laki-laki itu bangkit dari duduknya. “Menurut lo gue lakuin semuanya Cuma buat seneng-seneng? Lo pikir Cuma lo, siswa bermasalah yang ngelakuin semua hal karena sebuah alasan? Lo pikir cuman lo yang masalahnya paling gede di sini? Lo pikir kita orang gabut yang bertingkah karena alasan konyol?”

Luka Sang RaksaWhere stories live. Discover now