Bagian Ketigabelas - Dinamika Emosi

694 148 9
                                    

"Kebencian terkadang tidak ditunjukkan secara terang-terangan. Namun, kebencian yang disembunyikan cenderung terasa lebih menyakitkan saat semuanya terbongkar."

🥀🥀🥀

Hari terakhir ujian akhir semester. Terhitung empat bulan sudah berlalu setelah Gara mengetahui siapa ibunya dan apa yang wanita itu rasakan. Selama itu, apa yang terjadi? Tidak ada tentu saja.

Semuanya masih sama. Gara masih tinggal bersama Farah dan menghindari Revan sebaik yang ia bisa. Anna sendiri sering meminta Gara untuk berkunjung atau sekedar menghubungi untuk menyalurkan rasa rindu. Ya, setidaknya sampai di titik ini semuanya tidak berjalan dengan terlalu buruk.

Sulung dari Ardhanu itu sedikit meregangkan tubuhnya sembari kembali fokus menyelesaikan gambaran gedung sekolah yang tampak begitu hangat. Entah bagaimana rasa hangatnya bisa muncul mengingat Gara hanya memakai pensil dan menciptakan warna dengan arsiran. Tapi sungguh, Luka yang sedari tadi memperhatikan bisa merasakan bagaimana lukisan itu memberikan aura yang lebih positif.

Ruang ekstrakurikuler yang beberapa bulan mereka gunakan sebagai tempat, cukup hening hari itu. Karena memang hanya ada Luka yang tiduran di atas meja dan Gara yang sibuk pada gambarannya. Lyra absen, katanya gadis itu tengah merayakan hari terakhir ujian dengan beberapa siswi di kelas mereka.

"Liburan ngapain ya? Gue males banget kalau cuma rebahan di rumah." Luka bersuara setelah lebih dari dua puluh menit memilih diam.

Gara bergumam sembari memikirkan apa yang akan ia lakukan. Karena ya, jujur saja Gara juga tidak ingin diam di dalam rumah. Suasana yang tercipta setiap kali berada di tempat yang sama dengan Farhan atau Fauzan membuatnya benar-benar tak nyaman.

"Nginep di luar lagi kayaknya gue."

"Kayak waktu itu?" tanya Luka antusias. "Iya, penginapannya lumayan 'kan?"

"Itu bukan lumayan. Bagus. Gue ikutlah, anggep aja staycation." Gara mendelik. "Ck, gue bantuin bayar. Seperempat deh."

"Nggak. Bukan itu. Lo lama banget sumpah mandinya."

Mendengar kalimat Gara yang penuh dengan penekanan membuat Luka tertawa kecil. "Gue kurangin deh."

"Lagian lo konser di kamar mandi gitu siapa yang mau denger?"

"Gue 'kan lagi latihan buat tampil di panggung tujuh belasan."

Gara menggeleng pelan merasa tak habis pikir. Pasalnya Luka memang menghabiskan waktu lama di kamar mandi untuk menyanyikan setidaknya satu mini album sebelum benar-benar mulai membersihkan diri.

Kesabaran Gara tidak pernah sebesar itu untuk menunggu Luka selesai di setiap harinya.

"Eh. Tapi Bokap lo nggak ngamuk lo ngabisin duit sebanyak itu?"

"Ya setelah gue pikir, karena Papa udah terlanjur ngerasa berwenang setelah semua uang yang dia kasih buat gue. Kenapa nggak gue manfaatin dengan maksimal aja? Siapa tau setelah itu dia stop ngasih duit ke gue. Wewenangnya berkurang, dan gue bisa lebih leluasa buat ketemu Mama."

"Udah gila sih. Bener udah gila nih anak sultan."

Gara tersenyum tipis sembari menggelengkan kepalanya. Entah kenapa ia benar-benar menyukai ekspresi maupun reaksi yang Luka berikan. Di mata Gara, Luka itu lucu. Bahkan meskipun Luka tak melakukan apapun.

Luka Sang RaksaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang