Bagian Kesebelas - Luka Ekspetasi

812 160 8
                                    

“Alasan kenapa kita tidak diperkenankan untuk berekspetasi adalah luka yang mungkin akan kita dapatkan dari ekspetasi tersebut. Berbekas, mengecewakan, dan menyakitkan.”

🥀🥀🥀

Gara menolak untuk membuka matanya pagi itu. Ia sudah terbangun sejak tiga puluh menit yang lalu, tapi ia masih setia dalam pejamnya karena takut menghadapi fakta bahwa apa yang ia alami semalam hanyalah mimpi indah belaka.

Gara tidak siap menerimafakta bahwa Anna bukanlah ibunya, bahwa ia masih sendirian dan tidak bisa mengungkapkan rasa sakitnya pada siapapun. Kejadian semalam benar-benar membuat hatinya terasa hangat. Membuat seuluruh dunianya kembali berputar setelah sebelumnya terasa mati total.

Remaja enam belas tahun itu menghela nafas pelan sembari memeluk dirinya sendiri dengan lebih erat. Ia tidak mau bangun. Tidak secepat ini.

“Ann, tumben pagi-pagi kamu masak?”

Namun suara berisik dari luar itu otomatis membuat Gara mendudukkan dirinya. Ya, ia sudah membuka mata, menatap sekeliling ruangan yang jelas sekali bukan kamar di rumah Bude nya. Bukan juga kamar tempatnya menginap selama satu minggu terakhir. Kamar ini tampak asing dan sudah pasti berada di rumah Anna.

Cklek

Pintu kamar itu terbuka dan menunjukkan Anna dalam balutan baju rumahan yang terlihat lebih nyaman dari pakaian kerja yang selalu Gara lihat. Wanita di akhir usia tiga puluh itu tersenyum kemudian mendekati Gara.

Nafas Gara seakan berhenti untuk seperkian detik saat Anna mengusap surainya dengan lembut sebelum memberikan sebuah ciuman singkat.

“Pagi, sayang.”

Asing. Gara tidak tahu kata apa yang cocok untuk menggambarkan perasaannya saat ini. Ia merasa begitu bahagia dan juga kebingungan di saat bersamaan. Banyak pertanyaan kemudian muncul dalam kepalanya.

Apa semua ibu melakukan ini setiap kali membangunkan putra mereka di pagi hari? Apa seperti ini rasanya memiliki seorang ibu yang tulus menyayangimu? Apa begini rasanya hidup seperti anak-anak yang lain?

Gara mengerjap pelan dan merasakan air mata meluruh membasahi pipi tirusnya. Ia tertawa sendu kemudian menghapus air mata itu dengan punggung tangan. “Kaget, Ma.”

“Mama ngerti,” ujar Anna lembut. Sebuah ciuman kembali Gara terima setelahnya.

“Kamu mandi, terus keluar. Mama udah masak buat sarapan.”

Gara hanya mengangguk dan membiarkan Anna keluar dari kamarnya. Kehangatan itu kembali menguasai diri Gara dan membuat remaja itu menangis. Ia tidak tahu sejak kapan ia memiliki perasaan yang serapuh ini. Yang pasti, ia begitu bahagia dan berharap bahwa kebahagiaannya yang satu ini akan bertahan.

Namun kita semua tahu, tidak ada kebahagiaan yang bertahan cukup lama. Gara yang baru saja membersihkan diri itu harus menerima fakta bahwa Revan sudah menghubunginya sebanyak empat puluh kali, lengkap dengan dua puluh lima pesan berisi kalimat penuh amarah.

Kebanyakan meminta Gara untuk segera memberitahukan dimana posisinya agar Revan bisa menjemput Gara pulang. Si sulung itu tertawa miris, pulang ke mana yang sebenarnya Revan maksud di sini kalau rumah yang sebenarnya Gara miliki ada pada Anna.

Luka Sang RaksaWhere stories live. Discover now