Bagian Ke Tujuh (Benci adalah candu)

765 146 7
                                    

"Kenapa kebencian tidak pernah bisa berakhir dengan cepat?"

🥀🥀🥀

"Jadi, Gar. Lo mau gue ajarin mukul orang dengan baik dan benar, nggak?"

Gara menaikkan sebelah alisnya untuk menatap Lyra yang melangkah di antara ia dan Luka. Gadis itu nampak bersemangat, meregangkan jemarinya sesekali seakan benar siap untuk memberikan tinjunya kalau diperlukan.

"Gue ... udah bisa, sih," ujar Gara canggung.

Luka tertawa kemudian memukul bagian belakang kepala Lyra pelan. "Dewa perang lo ajarin perang. Goblok."

"Sopan banget lo mukul gitu." Lyra hendak balas memukul tapi Luka lebih cepat berlari menghindar. Ia bersembunyi di belakang tubuh tegap Gara sementara Lyra masih berusaha meraihnya di sana.

Suara kesal Lyra dan tawa Luka membuat Gara tersenyum tanpa sadar. Ia menggelengkan kepalanya kemudian menahan bahu Lyra dengan tangan kanan.

Lyra mengerutkan dahi tak mengerti.

"Lari." Mendengar intruksi itu, Luka langsung berlari menjauh sementara Gara masih memegangi bahu Lyra.

Gadis itu kemudian menginjak kakinya keras sampai membuat Gara harus mundur beberapa langkah dan mendesis kesakitan. "Kok lo belain Luka, sih?"

Gara ingin menjawab, tapi suara Luka yang meminta maaf pada seseorang, terlebih dahulu menarik perhatiannya. Ia dan Lyra sama-sama menatap ke arah gerbang, dimana Luka tengah membantu seorang wanita membereskan beberapa paper bag yang berjatuhan.

"Kan, kebiasaan si Iteng kalau jalan nggak pake mata."

Lyra setengah berlari mendekati Luka kemudian ikut merapikan bawaan wanita itu. Lyra juga beberapa kali meminta maaf untuk adiknya sehingga membuat Luka kesal sendiri.

Sementara itu Gara diam di tempatnya. Memperhatikan wanita yang tengah tersenyum untuk meyakinkan Luka dan Kyra bahwa ia baik-baik saja itu.

Sial. Setelah Jovan yang datang, sekarang Gara harus melihat Diana datang untuk mengusik kehidupannya sekali lagi.

Sungguh, melihat bagaimana Diana begitu mudah mengembangkan senyumannya membuat Gara merasa muak. Ia tak mengerti, bagaimana seorang perempuan bisa sebahagia itu setelah menghancurkan kehidupan perempuan lain.

Orang-orang bisa mengatakan bahwa Diana adalah wanita yang baik. Tapi sosoknya di mata Gara tak akan pernah berubah.

"Gara?" Diana memanggilnya.

Mengabaikan panggilan itu, Gara lekas berbalik. Mengambil langkah besar ke arah area parkir untuk mengambil motornya dan pergi secepat mungkin. Ia melupakan fakta bahwa Luka dan Lyra masih ada di sana. Melihat semua yang terjadi dengan kebingungan yang begitu nyata.

"Gara. Tunggu dulu, Nak. Mama ...."

Gara melepaskan jemari Diana dari lengannya kemudian mengambil dua langkah mundur. Ia menatap sekeliling dan melihat ada begitu banyak siswa berlalu lalang di sekitarnya. Gara mengumpat dalam hati, ia tidak ingin menjadi pusat perhatian karena berteriak pada Diana di tengah halaman sekolah.

Luka Sang RaksaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang