Bagian Kelima (Sosok yang Dirindu)

859 166 13
                                    

“Terkadang kita merindukan seseorang bukan hanya sekedar ingin bertemu. Tapi ada banyak hal yang ingin kita tanyakan dan ketahui jawabannya dari seseorang itu.”

🥀🥀🥀

“Gara!”

Hanya dengan mendengar teriakan Fauzan, Gara sudah menghela nafas malas. Kakak sepupunya itu hanya akan memanggil untuk meminta uang ataupun mengolok dirinya. Bukan hal yang penting.

Dug, dug, dug

Fauzan menendang pintu kamarnya berkali-kali masih dengan teriakan yang mengisyaratkan Gara untuk keluar secepatnya. Gara yang sebelumnya sibuk dengan buku gambarnya itu merasa kesal. Ia mencengkram erat pensil dalam genggamannya sebelum bangkit dan memutar kunci untuk membuka pintu kamarnya.

Fauzan langsung mendorong kepala Gara dengan keras begitu pintu terbuka. “Budeg ya lo. Lama banget disuruh buka pintu aja. Sini!”

Lagi, Fauzan menarik lengan Gara dan melepaskannya dengan kasar saat mereka sampai di ruang keluarga. Farhan ada di sana, meminum kopi dengan gerakan pelan layaknya seorang bos mafia yang menunggu kelinci kecil yang menjadi penghasil uang terbesar untuknya.

“Gara, kamu tahu 'kan Pakdhe lagi buka usaha bengkel. Nah, onderdilnya masih banyak yang kurang nih. Tapi Pakdhe nggak punya uang buat modal.”

“Langsung aja. Pakdhe mau minta berapa,” potong Gara cepat. Ia malas mendengarkan cerita karangan dari suami Bude nya itu.

Farhan tersenyum kesal, ia meletakkan cangkir berisi kopinya kemudian menatap Gara tajam. “Gara, itu uang Papa kamu. Jangan sok seolah-olah kamu yang punya uang itu. Lagipula Pakdhe udah berbaik hati mau nampung kamu di sini. Jadi jangan kurang ajar dan merasa berkuasa!”

“Ini emang uang Papa. Tapi Papa ngasih itu buat biaya hidup Gara. Jadi sama aja ini uang Papa atau uang Saya.”

Gara tertawa kecil. “Harusnya Pakdhe yang jangan merasa berkuasa. Selama Gara di sini, Gara nggak pernah pakai uang Pakdhe sedikitpun. Pakdhe juga nggak pernah ngurusin Gara dari kecil. Bude yang ngelakuin itu semua. Oh iya satu lagi, Gara udah baik banget penuhin semua kebutuhan mewah anak Pakdhe yang satu itu. Jadi siapa yang harus berterimakasih di sini?”

Bangsat!”

Bugh

Fauzan memukul Gara cukup keras sampai remaja itu terjatuh. Farhan kemudian bangkit dari duduknya, melepas ikat pinggang yang ia pakai kemudian mengangkatnya tinggi-tinggi.

Bunyi ikat pinggan yang beradu dengan punggung Gara adalah yang terdengar beberapa detik selanjutnya. Gara mengumpat keras dalam hati sembari mencoba melindungi diri sebaik yang ia bisa walau kenyataannya benar-benar percuma.

Sabuk itu masih mencambuk punggungnya berkali-kali dengan teriakan kemarahan Farhan yang mengiringinya.

“Harusnya saya biarkan saja kamu mati di jalanan waktu itu. Ditinggal sama Papa dan Mama mu yang jalang itu. Buat apa membesarkan anak orang tapi nggak ada gunanya!”

Gara mengepalkan tangannya kemudian menendang kaki Farhan dengan kuat sampai membuat laki-laki paruh baya itu mundur beberapa langkah. “Saya udah bilang, berhenti manggil Mama saya seperti itu!”

Luka Sang RaksaWhere stories live. Discover now