Bagian keduabelas - Hitam Putih

679 154 8
                                    

'Rasanya kita sudah berjalan sejauh ini. Tapi yang kita lihat hanyalah warna hitam dan juga putih. Menyesakkan."

🥀🥀🥀

"Nyebat lo?"

Gara sedikit terkejut saat Luka bertanya tepat di dekat telinganya. Mereka memang tengah berhenti di sebuah toko kelontong tak jauh dari penginapan Gara. Luka adalah yang berinisiatif untuk membeli beberapa makanan ringan sehingga Gara tidak akan diam dan kelaparan.

Di toko kelontong itu pandangan Gara tertuju sepenuhnya pada puluhan rokok yang tersusun dengan sempurna dalam sebuah wadah kaca. Ia menatap seolah ingin menghabiskan semua rokok itu untuk meringankan beban pikirannya.

"Kadang," jawab Gara sekenanya.

"Mau beli?" Gara menggeleng. "Kalau udah selesai buruan, Luk."

Setelah menunggu Luka membayar, kini keduanya sudah berada di penginapan Gara. Duduk di lantai tanpa melakukan apapun, hanya sekali memakan kuaci yang tadi sempat Luka beli.

Gara sendiri sedari tadi menatap kosong ke arah layar televisi yang menayangkan karakter dua bocah botak dengan baju berwarna kuning dan biru itu. Jelas pikirannya tidak ada di sini. Mungkin masih tertinggal di halaman sekolah di tengah pertengkarannya dengan Revan atau justru di depan rumah Anna, kala mendengar bagaimana wanita itu kesakitan karena dirinya.

Jujur, Gara selalu menyadari bahwa posisinya memang sulit. Menjadi seorang anak di antara dua orang yang berusaha keras melupakan satu sama lain bukanlah hal yang mudah. Ia terus menjadi seseorang yang ikut terlupakan juga, bersamaan dengan terkuburnya kenangan Indah diantara Revan dan Anna yang mungkin saja tidak pernah ada.

"Luk," ujar Gara pelan. Ia menoleh ke arah Luka yang sedari tadi jelas tengah memperhatikannya.

"Kalau gue kerja, gimana menurut lo?"

"Kerja?" ulang Luka sedikit terkejut. "Iya. Lo lihat sendiri 'kan gimana sikap Bokap gue? Dia selalu bersikap seolah punya hidup gue karena semua uang yang udah dia keluarin. Gue muak."

Luka meletakkan bantal yang sebelumnya ia peluk sembari menggeser posisi duduknya lebih dekat dengan Gara. "Gue tahu. Gue udah lihat gimana posisi lo sekarang. Tapi kerja bukan solusi, Gar."

Luka berdeham sebentar, kentara tengah menyusun kata-kata paling tepat sehingga Gara tidak akan tersinggung dan mengerti dengan maksud yang hendak ia sampaikan.

"Kita baru enam belas. Gue tahu emang banyak anak yang kerja di usia kita, bahkan lebih muda. Tapi satu hal yang harus lo inget, nggak ada pekerjaan mudah yang dilakuin sama mereka. Nggak ada pekerjaan bagus yang bisa didapetin sama bocah kayak kita. Apalagi lo juga belum punya pengalaman apa-apa."

"Gue tahu. Lo lagi kehilangan rumah lo. Gue tahu lo punya keinginan buat lepas jadi lo nggak harus terjebak di antara dua orang yang ...." Luka menggeleng, tak melanjutkan kalimatnya dan langsung menyambung dengan hal lain.

"Dunia luar nggak pernah sebaik yang lo bayangin, Gar. Lo mungkin ngerasa lo udah hidup sendirian selama ini, jadi nggak akan ada masalah. Tapi lo salah. Lo lupa kalau ada Bude yang selalu jadi wali lo, jagain lo, kasih perhatian ke lo. Iya, 'kan? Lo nggak pernah bener-bener sendirian selama ini. Dan mungkin lo sebenernya belum siap kalau harus hadepin dunia luar dengan diri lo sendiri."

Tepukan hangat Luka berikan pada punggung tangan Gara. "Orang dewasa aja banyak yang masih gagal buat hidup sendirian, Gar. Apalagi kita yang belum nemuin jati diri. Gue tahu lo lagi kebawa emosi sekarang. Jadi jangan gegabah, jangan buru-buru. Dipikirin aja pelan-pelan."

Luka Sang RaksaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang