Bagian Ke delapan (Luka yang Berbeda)

864 143 3
                                    

"Seharusnya Luka selalu terasa menyakitkan. Namun untuk yang satu ini, Raksa bersyukur sudah dipertemukan dengan sang Luka."

🥀🥀🥀

Kebanyakan orang tidak menyukai bagaimana sisi terburuk dari hidupnya diketahui oleh orang lain. Jujur, Gara juga seperti itu. Ia membenci fakta bahwa Luka sudah mengetahui banyak hal. Nyaris semuanya kecuali inti utama dari permasalahan yang ada di dalam keluarganya.

Tapi Gara juga sadar, bahwa seberapa keras dia berusaha, fakta itu tak akan pernah berubah. Luka tidak akan pernah melupakan apa yang terjadi. Satu hal yang akhirnya bisa ia lakukan hanyalah berpura-pura tak perduli.

Gara diam sejenak di dalam kamarnya. Menatap tumpukan baju yang rencananya akan ia bawa ke penginapan hari ini. Tampak terlampau banyak seakan Gara berencana untuk pergi dan tak akan kembali.

Jujur, Gara memang ingin melakukannya. Pergi dari rumah ini dan menjauhi Pakdhe serta sepupunya. Tapi bagaimana dengan Farah? Bagaimana dengan perasaan wanita yang sudah memberikan kasih sayang utuh untuknya itu nanti? Gara tidak suka membayangkan Farah harus berjuang untuk keluarga ini sendirian. Menafkahi suami yang bahkan tidak berniat untuk bekerja atau anak yang hanya tahu bagaimana cara bersenang-senang.

Gara mengusap netranya yang terasa panas untuk seperkian detik sebelum kembali bergerak merapikan barang-barang yang hendak ia bawa dengan cepat.

Setelahnya ia melangkah keluar. Menutup pintu rumah dan menghampiri Luka yang tanpak sibuk memikirkan sesuatu. Gara mendorong tasnya ke arah Luka untuk menyadarkan teman sekelasnya itu.

"Anjir? Lo mau pindahan?"

Gara mengendikkan bahu. Enggan menjawab karena tidak tahu harus menjawab seperti apa.

"Lo mau langsung balik atau makan dulu?" Gara menawarkan begitu mereka sudah naik di atas motor.

"Eh, apa nih? Tumbenan lo baik? Berinisiatif?"

"Satu ... dua."

"Balik aja balik," jawab Luka cepat, "lo udah capek gitu. Besok aja traktirannya. PHd ya?"

Gara menghela nafas kasar. Ia pikir Luka benar-benar akan mengabaikan tawarannya. Ternyata hanya perpanjangan waktu.

Hari itu Gara mengendarai motornya dengan kecepatan sedang. Sedikit berbeda dari bagaimana ia selalu memilih kecepatan yang tinggi seakan tengah menantang sang malaikat maut. Perjalanan itu juga terkesan lebih diam dari yang sebelumnya karena baik Gara maupun Luka memilih untuk tak berbicara.

Luka menatap tas dan juga punggung tegap Gara bergantian. Ia menimbang-nimbang. Seburuk apa sebenarnya hal-hal yang harus Gara hadapi setiap hari? Seburuk apa sampai Gara selalu terlihat mati rasa meskipun rasa sakit menyiksa setiap bagian dari dirinya?

Tanpa sadar Luka kembali teringat perkataan Gara tentang seseorang yang terlahir di situasi yang buruk dan dikelilingi oleh orang-orang yang buruk juga.

"Gar ...."

"Hmm?"

Luka menghela nafas untuk meyakinkan diri. "Gue boleh nginep di tempat lo nggak malem ini? Gue ada urusan gitu besok pagi sebelum berangkat. Dan urusan gue itu deket sama penginapan lo."

Luka Sang RaksaWhere stories live. Discover now