07. limerence

42 7 7
                                    

Kenapa aku harus jadi seperti dia? Aku hanya aku
.
.
.
.
.
.
.
.

Sunyi sesaat, hanya suara angin yang dapat ku dengar sekarang. Burung-burung pergi berterbangan, warna jingga sudah memenuhi langit pertanda datangnya petang..

"Bagaimana itu bisa terjadi?" ia memulai percakapan, dari pantulan kaca motor kulihat wajahnya tampak serius bertanya.

"Bagaimana? Entahlah, Youna hanya belum puas"

"Tapi.. lo beneran gapapa?"

Annette mengangguk pelan, mengeluarkan sedikit suaranya.

"Orang tua kamu gimana? Kamu akan cerita semuanya?"

"Aku tidak tinggal dengan orangtua, mungkin aku hanya akan berbagi cerita dengan Bibi"

"Emang orangtuamu dimana?" Everest seperti masih ingin mengulik persoalan ini "Aku gatau siapa Ayahku"

"Dan Ibu.. Juga sudah lama menghilang dari aku kecil"

Everest mengerem motornya mendadak, ia kaget dengan ucapan gadis itu barusan. Tapi belum sempat motornya berhenti, ia segera menancapkan gasnya lagi "Ah.. Maaf ya"

"It's okay" Annette mengalihkan pandangan, berusaha melupakan ucapan nya tadi. Tapi dia kembali memecah senyap "Kita sama-sama ga beruntung soal keluarga, Anne"

"Ibuku sudah lama meninggal, dan semenjak itu Ayah menjadi pemabuk berat"

Pandangan Annette teralihkan, tatapan nya yang sedang serius menatap senja langit seakan buyar begitu saja. Annette lebih tidak menyangka bahwa, Everest juga bernasib sama dengan nya.

Ragu Annette ingin memegang pundak Everest untuk memberikan nya semangat, tapi lelaki itu malah mengarahkan nya ke arah lain "It's okay"

Tangannya tak sengaja memeluk tubuh itu----jantung Annette berdegup kencang, ia melepas pelukan nya cepat "aish! Jinjja?"

"modus lo!" Annette menatap tajam kearah kaca spion, pantulan nya dapat dengan jelas Everest lihat "cuma bercanda-"

"kalau baper urusan lo sendiri" tak terelak, sebenarnya ada secarik senyuman yang ia sembunyikan.

Annette membuang mukanya masam.

Hingga tak lama motor Everest berhenti tepat di depan sebuah Apartemen minimalis "Terimakasih ya, tumpangan nya" Annette melambaikan tangan seolah mengucapkan selamat tinggal.

Everest mengambil dan menggenggam tangan Annette "Semangat?"

"Semangat!" mereka berdua akhirnya berpisah, Annette menaiki lift dan memencet tombol lantai apartment nya.

Dia berjalan ke dalam menggendong ransel coklat itu, menutupi senyum du bibirnya. Pikiran nya seakan masih dibawa menjelajah waktu, hingga bibi datang "Kaa sudah pulang? Sini biar Bibi yang bawa ransel nya"

"Gausah bii!" matanya melirik-lirik plafon atas, masih saja berkhayal. Tapi tiba-tiba kepalanya seakan berdengung.

"Aduh" badan Annette kehilangan keseimbangan, tubuhnya hampir jatuh menimpa Bibi "Hah? Ka! Kak kenapa?"

Bibi yang melihat Annette tersungkur lemas menjadi semakin panik "Kaka kenapa? Bilang sama Bibi!"

"Capek Bi liat orang ganteng"

Bibi mengehela napas panjang, ia lega tapi juga tak habis pikir. Anak ini selalu membuat panik.

"Kaka jangan bercanda ih, Bibi hampir jantungan"

Untuk, EverestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang