14. tea cup

41 6 6
                                    

Kehangatan api unggun dalam rumah, dengan keluarga yang sempurna
.
.
.
.
.
.
.
.

Everest pulang kerumahnya dan membersihkan diri, lanjut pergi dan membuka pintu Toko milik Kim. Lampu-lampu disana menerangi jalanan, membuat suasana yang indah.

Ia masuk ke dalam ruang kerjanya yang cukup berantakan. Lelaki itu merapihkan serpihan-serpihan kayu di meja nya, menyapu lantainya dan kemudian memakai celemek hijau army untuk melindungi kaus yang ia kenakan dari debu.

Ia duduk di kursinya, meletakkan kedua tangan diatas meja. Everest hampir saja melakukan tugasnya, sampai seaakan ia dibuat menoleh sesaat. Pandangan nya ditarik kearah pojok, ia mengambil sebuah cermin yang terduduk disana.

Melihat pantulan dirinya sendiri, Everest tak sengaja menemukan goresan kecil di hidung nya akibat perkelahian tadi. Ia menyentuh goresan itu pelan, lelaki itu mengabaikan nya. Ia segera menaruh cermin itu kembali, dan bergegas melanjutkan tugasnya, menyelesaikan pesanan beberapa hari lalu.

Everest tundukkan badan nya kebawah berusaha mengambil sebuah kotak biru yang berisi alat-alat pahatan.  Ia membuka kotak itu, mengambil beberapa alat pahat yang dibutuhkan nya. Sinar kecil dari lampu yang bewarna kekuningan menjadi alat penerang bagi Everest. Matanya menatap serius, sekarang dia tidak akan bisa diganggu.

Hingga beberapa waktu berlalu, hampir satu jam lamanya Everest menyibukkan diri. Ia akhirnya berhasil menyudahi segala urusan hari ini. Sekarang ia lanjut memoles, membuat produknya berkilau dan terkadang ia memutar badannya menghilangkan pegal.

Tulangnya mengeluarkan suara, krek. Bunyi semacam itu terkadang muncul secara alami akibat tulang yang di regangkan, hingga putaran badannya membuat mata lelaki itu tak sengaja menoleh kebelakang kursi. Ia teringat satu masalah yang belum selesai.

"Ah iya, tas nya sobek"

"Apa masih bisa dijahit ya?" ia memutar otaknya, berusaha menerka-nerka. Dimana ia akan menaruh seluruh buku sekolah nya? Everest sudah pasti membutuhkan ransel baru.

Tapi dia tidak akan bisa, satu-satunya uang tabungan yang ia simpan hanya cukup digunakan untuk melunasi hutang Ayah. Sisa gajinya juga nya untuk makan dan membayar listrik. Uang yang ia kumpulkan akan sia-sia jika dibelikan ransel.

"Sepertinya masih bisa dijahit, ini tidak akan buruk.."

⚪⚪⚪

"Ka, makan malam dulu" suara itu mendekat. Langkah kaki memasuki indra pendengaran Annette yang sedang duduk di ruang belajarnya.

Ia masih sibuk dengan buku-bukunya, seketika gadis itu menoleh kebelakang dan terlihat Bi Seo menyodorkan sebuah nampan berisi semangkuk nasi kari.

"Obatnya juga diminum, ya.." ia lanjut memberikan satu keping antibiotik dan segelas air pada gadis itu.

Annette meneguk airnya, menelan obat itu masuk kedalam lambung untuk dicerna tubuhnya.

Ia kemudian mengambil sendok dan garpu dalam nampan hendak menyantap makan malam yang sudah disiapkan Seo. "Terima kasih ya, Bi" ucapnya.

Bibi mengangguk, ia terdiam sesaat melamunkan sesuatu. Hingga akhirnya bibir itu bergerak, Seo membuka suara "Kaka.. Ga kenapa-kenapa, kan?" tanya bibi.

"Kenapa-kenapa gimana?" gadis itu masih sibuk dengan karinya dan tidak terlalu menghiraukan pertanyaan Bi Seo.

"Anne sayang, kamu udah ga sakit lag-"

"Engga kok Bi, Annette sudah lebih baik sekarang" gadis itu tersentak pelan dan langsung memotong pertanyaan Seo.

"-gi, kan?" Seo akhirnya mengangguk keluar, meninggalkan Annette dengan makan malamya agar tidak megusik ia yang sedang belajar.

Untuk, EverestWhere stories live. Discover now