3: Malam Pertama

30.8K 1.3K 10
                                    

🌧️🌧️🌧️

Tes.. tes..

Aku berjengit kaget. Gerimis membuatku terbangun. Aku menoleh ke kiri, api unggun yang dinyalakan Mas Rimba sudah mati. Kemudian kutolehkan wajah ke kanan.

Ya Tuhan.

Mas Rimba menggigil kedinginan.

"Mas Rimba!!" Teriakku memanggil namanya.

Pria itu bergeming. Dengan suara erangan yang keluar lirih dari bibirnya.

"Mas Rimba. Please bangun!!" Pekikku panik. Mataku sudah berkaca-kaca. Apa yang terjadi dengan Mas Rimba?

Apa yang harus kulakukan sekarang?

Aku melihat spot kering yang terlindungi oleh pepohonan.

"Mas Rimba!! Ayo bangun dulu. Kita harus cepat pindah ke dekat pohon yang disana." Aku menarik tangan Mas Rimba hingga ia terduduk.

Syukurlah dia sudah sadar. Meski aku tahu, pria itu masih menggigil. Semoga saja bukan hypothermia.

Mas Rimba mengalungkan tangannya ke pundakku lalu dengan sekuat tenaga aku menyeret tubuh Mas Rimba ke area lebih kering yang tadi kulihat karena dipayungi oleh pepohonan yang rimbun.

Setelah Mas Rimba bersandar di sebuah pohon. Aku berlari mengambil barang-barang yang kami temukan.

Mas Rimba menatapku dengan tatapan risau.

"Maaf aku ngerepotin kamu."

"Jangan mikirin itu dulu Mas, yang penting kita harus pikirin bagaimana caranya supaya Mas Rimba bisa tetap hidup." Ucapku dengan raut serius. Apalagi setelah kuamati, bibir Mas Rimba sudah bergetar dan biru.

"To-long bantu aku buka baju."

Aku melebarkan mata. Kenapa harus buka baju? Aku mengernyit tidak paham dengan permintaan Mas Rimba.

"Bajuku basah."

Ah.. ternyata begitu. Kini aku mulai faham. Baju yang basah akan membuat orang yang sedang kedinginan semakin parah.

Dengan cekatan, aku membantu Mas Rimba menarik kaos hitamnya melewati kepala.

"Sekarang, kamu juga." Mas Rimba menunjuk sweater biru yang tengah ku kenakan.

"Nonono. Ntar aku juga kedinginan, Mas." Aku menyilangkan tangan di depan dada tanda tidak setuju.

Lagian, yang bajunya basah kan situ. Kenapa malah ngajakin orang lain buka baju juga sih?

"Saat kita kedinginan dan dalam kondisi darurat tanpa api, kita harus saling menghangatkan lewat panas tubuh. Itu satu-satunya cara supaya kita nggak mati." Mas Rimba menatapku putus asa. Aku terenyuh. Tentu saja aku tidak ingin mati secepat itu. Apalagi harus ditinggal sendirian di sini tanpa Mas Rimba.

Wajahnya yang pucat membuatku tak tega. Akhirnya kubuka satu-satunya lapisan yang melekat di tubuhku. Karena aku tidak memakai miniset karena basah, tubuh bagian atasku langsung terpampang di depan wajah Mas Rimba.

Aduh. Malu sekali rasanya.

"Mas, aku malu."

Tanpa menanggapi perkataanku, Mas Rimba sudah meraihku untuk duduk dalam pangkuannya.

Pria 35 tahun yang juga kakak sahabatku itu memelukku dengan sangat erat. Darahku berdesir saat kurasakan kulit kami bersentuhan secara langsung. Ini adalah kali pertama aku berdekatan dengan lelaki seintim ini. Tapi ini kondisi darurat. Tidak seharusnya aku berpikir sesuatu yang lain.

Tangan Mas Rimba mengelus punggungku atas bawah. Menciptakan rasa hangat yang tidak pernah kurasakan sebelumnya. Mungkin ini yang Mas Rimba butuhkan agar kembali hangat.

"Sudah mendingan, Mas?" Tanyaku seraya menjauhkan wajah. Sejak tadi Mas Rimba menggosok-gosokkan wajahnya di dadaku.

"Hm. Lumayan." Jawabnya sekilas, lalu mengeratkan pelukan kami kembali. Aku hanya bisa pasrah menjadi selimut manusia untuk pria satu ini.

Aku penasaran sudah pukul berapa sekarang. Sungguh, kuharap matahari segera terbit, sehingga kami terlepas dari situasi canggung begini. Dan kuharap Mas Rimba sudah tidak kedinginan lagi. Tanpa sadar air mataku meleleh. Aku tidak bisa membayangkan hidup kami kedepannya jika terus terdampar di sini.

***

"Matahari sudah terbit." Sebuah bisikan menggelitik telingaku.

"Hoam..." Aku menguap lebar.

"Nyenyak banget tidurnya." Mas Rimba tersenyum miring ke arahku yang kubalas dengan dengusan.

"Salah siapa aku jadi kurang tidur semalam?"

"Salahku." Mas Rimba menyahut kalem. Ughh... Bisa banget deh bikin aku keki.

"Makasih sekali lagi. Kamu sudah nyelamatin nyawaku dua kali." mas Rimba mencium punggung tanganku tanpa kuduga. Ya ampun mas.. pagi-pagi kenapa udah bikin jantung anak gadis mau meledak gini sih?

"Apa sih mas, udah seharusnya kan kita saling menolong. Kita cuma berdua. Aku nggak mau Mas Rimba ninggalin aku sendirian di sini." Balasku tanpa berani melihat matanya. Semalam adalah pengalaman yang traumatis setelah kecelakaan pesawat itu. Aku benar-benar khawatir terjadi sesuatu pada Mas Rimba.

"Makasih, Vi." Mas Rimba merangkulku dengan lembut. Oh ya semalam Mas Rimba langsung menyuruhku kembali berpakaian saat kesadarannya sudah kembali. Dan pria itu juga dengan cepat mencari ranting-ranting pohon dan membuat api unggun sekali lagi.

Mas Rimba memberikan senyum tipisnya padaku.

Jenis senyuman yang takkan pernah kudapatkan sebelum kecelakaan yang menimpa kami.

Aku balas tersenyum tipis lalu menyandarkan kepala di bahu Mas Rimba sambil menyaksikan sinar keemasan perlahan meninggi.

Akhirnya kami kembali hangat.

***

What next?

Terdampar (END)Where stories live. Discover now