20: Salah Diagnosis

8.7K 695 53
                                    

Absen dulu, kamu pengen cerita ini cepet tamatnya atau pelan-pelan santuy?

***

Hari ini aku ada jadwal bertemu dengan psikiater. Sudah hampir seminggu aku mengalami gangguan makan yang ekstrem. Setiap memakan sesuatu, selalu kumuntahkan kembali. Tapi aku tidak merasa sakit atau apapun, jadi aku menyimpulkan sendiri ada yang salah dengan kondisi psikologisku. Apalagi aku sering bermimpi aneh akhir-akhir ini. Membuatku memutuskan untuk mencari bantuan dari profesional untuk menyembuhkan kondisi mentalku. Namun Mama dan papaku sedang di luar negeri untuk menjenguk adikku, sehingga terpaksa aku menghubungi Bu Sheila untuk mengantarku.

Kenapa bukan Mas Rimba? Jawabannya adalah karena aku merasa ini hal yang memalukan untuk dibahas. Bukan sesuatu yang penting juga untuknya yang selalu sibuk, apalagi dia sedang berjuang untuk mendapatkan kembali posisinya dalam pekerjaan setelah hampir lima bulan ia tinggal. Lagipula yang mengusulkan agar aku pergi ke psikiater adalah bu Sheila.

Tepat pukul tiga sore Bu Sheila datang ke rumahku. Wajahnya yang manis menyapaku dengan ceria.

"Sudah siap?" Tanyanya. Aku mengangguk lalu bergegas mengikutinya masuk mobil.

"Mama dan Papa kamu sudah tahu kamu mau ke psikiater hari ini?"

"Sudah, Bu."

"Terus, gimana tanggapan mereka?" Tanya Bu Sheila sambil memutar kemudi. Menurutku Bu Sheila tampak keren saat sedang menyetir seperti ini.

"Saya dikasih uang tambahan buat bayar nanti." Aku membuang pandangan ke luar jendela mobil. Bu Sheila melirikku dengan senyum tipis, tidak menanggapi lebih jauh. Aku sih sudah terbiasa dengan karakter kedua orang tuaku yang lebih memprioritaskan adikku.

"Good luck." Ucap Bu Sheila seraya mengusap punggungku. Dengan ragu aku mendorong pintu ruang dokter Briana, psikiater yang sudah dijadwalkan untukku hari ini.

"Hai.. Violetta." Sapa dr. Briana dengan senyum ramah keibuan. Aku balas tersenyum canggung kemudian duduk saat wanita paruh baya dengan jas putih itu mempersilahkanku.

"Bagaimana kabarnya hari ini?" Tanya dr. Briana dengan berdiri, lalu ia mengambil beberapa peralatan dokter yang biasa aku lihat saat cek kesehatan. Dr. Briana menarik kursi lalu duduk berhadapan denganku tanpa terhalang meja.

"Um.. baik." Jawabku bohong. Sejujurnya aku sangat lemas karena tidak ada satupun makanan yang bisa kucerna dengan baik. Tanganku yang mengepal saja sudah gemetaran di luar kendali.

"Saya periksa sebentar kondisi tubuhnya ya.. " Dr. Briana meraih tanganku kemudian melakukan pengecekan.

"Sudah berapa lama Vio tidak bisa makan?" Tanya dr. Briana dengan ekspresi sulit ditebak.

"Itu.. semingguan, mungkin." Jawabku tidak yakin. Sejujurnya sejak aku terbangun di rumah sakit setelah ditemukan, aku belum pernah makan dengan baik. Aku selalu memuntahkannya diam-diam.

"Mungkin?" Dr. Brianna menautkan alisnya, tampak berfikir.

"Sepertinya saya harus bertemu dengan wali kamu terlebih dulu, Violetta masih sekolah kan?" Pertanyaan dr. Brianna membuat jantungku berdebar khawatir.

"Mereka sedang ada di luar Indonesia, dok."

"Terus, kesini sama siapa?" Nada bicara dr. Brianna meninggi. Rasa takut mulai menyusup ke seluruh tubuhku.

"Bu Sheila. Guru saya di sekolah." Balasku dengan gugup.

"Boleh panggilkan Bu gurunya?" Pinta dr. Brianna, kini ekspresinya kembali ramah seperti semula. Bergegas aku keluar ruangan dan membawa Bu Sheila yang sedang menunggu ikut masuk ke dalam ruangan.

"Jadi, bagaimana dok?" Tanya Bu Sheila to the point.

"Sebelumnya saya ingin bertanya, mengapa anda memutuskan untuk menjadwalkan Violetta konsultasi dengan psikiater, bukan ke dokter lebih dahulu?"

"Saya pikir Violetta butuh bantuan psikiater karena dia korban kecelakaan beberapa bulan lalu dan sekarang dia mengalami gangguan makan." Bu Sheila melirikku cemas.

"Jadi begitu.." dr. Briana mengangguk-anggukkan kepala.

"Saya merasa apa yang dikeluhkan oleh saudari Violetta ini belum bisa disebut gangguan mental eating disorders, tapi saya melihat yang lain."

Aku menundukkan kepala, menebak-nebak apa yang akan dikatakan dr. Brianna selanjutnya.

"Silahkan bawa saudari Violetta ke dr. Obgyn untuk lebih memastikan. Karena baru saja saya melihat tanda-tanda kehamilan saat mengecek kondisinya." Air mataku menetes saat mendengar pernyataan dr. Brianna mengenai kondisiku. Hamil? Aku beneran hamil? Sejak kapan? Bagaimana bisa?

Pelbagai pertanyaan sudah membanjiri otakku. Bahkan saat sudah di dalam mobil pun aku masih meneteskan air mata tanpa suara.

"Kamu tenang dulu, kita coba pakai test pack." Bu Sheila meremas tanganku, memberi kekuatan.

Beberapa saat kemudian kami sudah kembali ke rumahku, dengan beberapa macam test pack yang dibeli Bu Sheila dari apotek.

"Ini kamu coba. Ikuti intruksi yang ada di kotaknya." Aku mengusap bekas air mata di pipiku, lalu bergegas masuk ke toilet.

"Bagaimana, Vi?" Bu Sheila menatapku penasaran saat aku keluar dengan lima test pack dengan merk berbeda.

"Garis dua, Bu." Jawabku lemah. Bu Sheila langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan. Aku tahu dia pasti tidak pernah menyangka kejadian ini. Aku pun sama.

Saat Bu Sheila selesai dengan rasa terkejutnya, wanita itu segera memelukku erat. Aku pun segera menumpahkan tangisanku dalam pelukannya.

***

"Kamu pernah berhubungan badan dengan siapa, Vio?" Tanya Mama dengan nada tinggi. Semalam Bu Sheila menghubunginya dan memberitahu kondisiku dengan baik-baik. Namun, Mamaku sangat terkejut dan memutuskan untuk segera kembali ke Indonesia bersama Papa. Kini mereka sedang menyidangku di kamar.

Aku hanya bisa menangis sambil menggeleng pelan. Aku benar-benar tidak tahu. Bahkan dengan Mas Rimba saat melam aku menginap di rumahnya kami belum sejauh itu.

"Kamu bener-bener mau bikin Mama jantungan, ya Vi." Mama duduk di sofa kamar dengan tangan memijat kening. Papa hanya mengamati kami dalam diam, tidak ikut memarahiku tapi aku bisa melihata sorot kecewa di matanya.

"Sebaiknya kita periksakan dulu anak kita, Ma. Supaya jelas dia sudah hamil berapa bulan, dan kita bisa mengira-ngira siapa yang bisa bertanggung jawab untuknya." Kata Papa kemudian mengajak Mama keluar dari kamarku.

Ya Tuhan.. bagaimana bisa hidupku jadi seperti ini?

Dengan air mata yang terus melelehi pipi, aku memeluk kakiku sendiri di atas ranjang. Hingga sebuah notifikasi pesan dari ponselku membuatku teralihkan.

From. Mas Rimba

Kamu kapan main ke rumah? Aurora kangen.

***
TBC

Double update tapi nggak banyak. Maapkeuun. 🦁


Terdampar (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang