5: Mandi

24.6K 1.2K 20
                                    

Tidak terasa satu Minggu berlalu dengan cepat. Bagaimana aku tau? Tentu saja mas Rimba lah yang mencatat hari-hari yang telah kami lewati dengan goresan di dinding batu, tempat tinggal kami sekarang.

Selama satu Minggu ini, kami berusaha survived dengan apa yang ada di sekitar sungai. Terkadang kami memakan buah-buahan, ikan sungai, atau kerang yang kami dapat di sepanjang pesisir pantai yang jaraknya sekitar lima ratus meter. Cukup dekat.

Kami juga selalu mengecek kondisi sekitar pantai dan tanda s.o.s yang sempat kubuat. Siapa tahu datang pertolongan yang kami tunggu selama ini.

Kebersamaan kami yang sangat intense, membuat kami jadi sangat bergantung satu sama lain. Mas Rimba akan sangat panik bila melihatku pergi sebentar dari jarak pandangnya. Begitupun sebaliknya.

Aku akan sangat panik dan menangis bila Mas Rimba menghilang sebentar saja.

Seperti sekarang, Mas Rimba memberitahuku akan pergi mandi sebentar di sungai, namun tak kunjung kembali. Jantungku berdebar kencang. Panik.

"Mas Rimba!!!" Panggilku lirih. Kusadari keadaan yang serba terbatas ini membuat kondisiku melemah. Pun dengan suaraku yang sudah bergetar.

"Mas..." Hic. Aku sudah terisak.

Dengan keberanian yang tersisa aku berjalan ke arah hulu sungai yang memiliki tebing kecil seperti air terjun, tempat biasa kami membersihkan diri.

Mas Rimba masih di sana. Pria itu sedang bertelanjang dada di bawah pancuran air terjun. Tidak menyadari keberadaanku.

"Mas..." Panggilku lagi. Kini aku sudah melucuti pakaian kumuh yang kukenakan.

Dengan perlahan aku menceburkan diri ke aliran sungai yang lumayan deras.

Perlahan menghampiri Mas Rimba yang berdiri dengan mata tertutup. Seperti orang yang sedang bermeditasi.

"Mas.."

Mas Rimba membuka matanya. Matanya yang legam membulat saat melihat kehadiranku di hadapannya.

Mungkin pria itu terkejut karena aku telah melucuti seluruh pakaianku.

"Kenapa di sini? Mas mandi sebentar."

"Mas mandinya lama. Aku ikut mandi sekalian, ya." Rengekku manja. Dengan perlahan aku menempelkan tubuhku dengan tubuh Mas Rimba.

Darahku berdesir.

Aku tidak pernah terbiasa dengan keintiman seperti ini. Namun semenjak kami terdampar di pulau ini, aku menjadi sangat haus akan sentuhan dan kehangatan yang kudapatkan dari Mas Rimba.

"Aku takut sendirian, Mas." Bisikku tepat di telinganya yang memerah. Telapak tangan kasar Mas Rimba menyentuh pinggangku dengan lembut. Membuat bulu kudukku seketika meremang.

"Ngh.. Mas."

Mas Rimba mengecupi leherku tanpa peringatan. Tanpa bisa kutahan, aku melenguh nikmat.

"Ok stop." Mas Rimba yang memulai, dan pria itu pula yang mengakhiri. Seperti biasa. Gairahku sudah di ubun-ubun dan dengan mudahnya ia menghentikan kenikmatan yang sedang berlangsung.

"Kenapa Mas Rimba selalu berhenti tiba-tiba saat kita make out?"

"Ini salah, Violetta. Kamu masih di bawah umur." Mas Rimba mengalihkan tatapannya dariku. Dapat kulihat sorot putus asa dari matanya. Aku tau dia juga menginginkan kami lebih dari sekedar skinship dan ciuman.

Tentu saja. Mas Rimba adalah pria normal 35 tahun yang memiliki kebutuhan biologis. Dan itu manusiawi.

Aku hanya ingin membantunya.

"Bulan depan aku sudah 18 tahun loh Mas." Tanganku mengelus dada bidang Mas Rimba yang berotot dan mengkilap kecoklatan.

"Kamu sahabatnya adikku."

"Di sini kita cuma berdua Mas. Kurasa tidak ada yang peduli norma di sini." Aku tersenyum menggoda. Kusentuh cambang Mas Rimba yang ada di dagunya perlahan.

"Mas Rimba imut banget kalau lagi nahan diri kayak gini." Aku tertawa kecil melihatnya menutup mata seakan menahan sesuatu.

Dengan berani, kurapatkan tubuhku hingga benar-benar menempel di tubuhnya.

Tubuh Mas Rimba seketika menegang kala kugesekkan dadaku di dadanya.

"Vi.. please. Kita nggak boleh ngelakuin lebih jauh." Mas Rimba mencekal tanganku yang hendak menyentuh di titik sensitifnya.

"Kenapa?"

"What the.. kita belum ada ikatan apapun, Violetta!" Mas Rimba menaikkan volume suaranya. Membuatku sedikit bergidik.

"We don't need that." Balasku lirih.

"Apa?"

"Kita nggak butuh ikatan hanya untuk memenuhi hasrat biologis kita di sini, Mas. Mana ada penghulu di tengah hutan belantara begini?" Seruku dengan kesal.

"Hah?" Mas Rimba menatapku dengan tatapan tak percaya.

"Kalau bukan menikah ikatan yang mas maksud, ya udah.. mulai detik ini kita punya ikatan. Kita pacaran Mas. Mas mau kan, jadi pacar aku?"

Mas Rimba mengusap wajahnya dengan kasar.

Dan sedetik kemudia ia terkekeh.

"Aku nggak nyangka, kamu sefrontal ini, Violetta."

Aku mencebikkan bibir mendengarnya.

"Tapi aku suka.." Mas Rimba menarikku ke dalam pelukannya.

"Kita tunggu sampai ulang tahun kamu ya, sayang." Bisik Mas Rimba di telingaku disusul dengan hisapan lembut di leherku.

Dasar vampir.

***

Sementara itu..

"Pak.. tolong temukan Kakak dan sahabat saya." Teriak Aurora pilu. Gadis itu masih bertahan di posko pengaduan sejak seminggu yang lalu. Menurut berita, tim pencari korban musibah pesawat study tour ke Australia akan tetap diturunkan untuk mencari keberadaan korban yang masih hilang sekaligus black box yang belum ditemukan karena tenggelam di laut.

"Iya mbak.. kami akan berusaha keras mencari para korban. Mbak yang sabar ya.. tolong doakan semoga cepat ketemu." Seorang wanita yang juga relawan di sana menepuk-nepuk bahu Aurora.

Sedangkan bapak-bapak yang dimintai tolong Aurora tadi justru sedang menyibukkan diri dengan ponselnya.

"Mas Rimba sudah 10 hari hilang loh mbak.. Vio juga." Aurora semakin keras menangis.

Tidak peduli dengan lalu lalang relawan yang membawa berbagai barang hasil temuan para penyelam.

Saat kecelakaan naas itu terjadi, Aurora berhasil selamat dengan para penumpang yang lain karena pesawat itu berhasil mendarat di laut. Mereka segera menyelamatkan diri ke lautan dengan vest yang mereka kenakan karena beberapa saat kemudian pesawat itu meledak dan tenggelam.

Hingga hari ini, ada sekitar 20 orang yang belum ditemukan, termasuk Rimba dan Violetta yang terhempas ditengah-tengah pendaratan.

"Ra... Kamu harus istirahat." Sebuah suara membuat Aurora menegakkan tubuh kemudian menoleh.

"Rora masih mau di sini, Om."

***




Terdampar (END)Where stories live. Discover now