Bab 2. Hari-hari Sepi

148 34 5
                                    

“Berhenti, Franz, kau bisa melubangi mejamu,” sergah Jace seraya menepuk tangan Franzine sampai pensil di tangannya terlepas dan jatuh ke lantai.

Franzine mendongak dan matanya bersirobok dengan tatapan prihatin dari Jace . Ia membuang napas keras dan membenturkan dahi ke atas meja kemudian menekur di sana. Ia merasa mengantuk. Dan kacau.

  Jace Monheim menggeleng-gelengkan kepala melihat Franzine. Kalau saja bisa, ia ingin meminta Franzine membagi beban kepadanya. Namun, ia tahu bahwa seorang Franzine akan memilih bungkam seribu bahasa daripada membahas apa yang membuatnya begitu galau. Apalagi, dia tahu Jace pernah mengalami hal yang sama dengannya, bertahun-tahun sebelumnya.

Jace menepuk bahu Franzine pelan. Ia melihat bagaimana Franzine mencoba membunuh meja kerjanya dengan menusuk-nusukkan pensil di satu titik.  "Berhenti menyiksa mejamu, Fran. Kasihanilah benda itu.  Lagipula, meja itu lumayan mahal. Gajimu yang tidak seberapa akan terbuang sia-sia untuk mengganti harga meja itu."

"Kau lebih menyayangi meja ini daripada aku, Jace?" balas Franzine sarkastik.

Jace tertawa dan beranjak dari kursinya yang berada di belakang meja kerja Franzine dan menuju dapur kantor. Ia membuat dua cangkir kopi hitam tanpa gula untuk Franzine dan dirinya sendiri. Pekat, pahit. Seperti hari-hari mereka sebagai laki-laki kesepian. Jace tertawa sendiri dalam hati. Too dramatic, pikirnya.

Jace tahu apa yang sedang dihadapi oleh Franzine. Ia sudah menjadi rekan kerja Franzine selama tiga tahun dan sebelumnya, mereka juga teman satu angkatan di pendidikan kepolisian, sebelum dipisahkan oleh pembagian tugas yang berbeda, sampai tiga tahun yang lalu ia ditempatkan di bagian yang sama dengan Franzine dan menjadi rekan kerjanya lagi.

Proses perceraian Franzine dangan Sheryl tidak mudah. Keduanya saling menarik dan mengulur agar bisa memenangkan hak asuh atas kedua putri kembar mereka. Pada beberapa bulan setelah Sheryl mulai memproses gugatan cerainya, Jace sudah mencoba memperingati Franzine agar dia bersikap lebih lunak. Bagaimana pun juga, Jace tidak yakin pengadilan akan memenangkan Franzine di atas Sheryl.

Franzine yang keras kepala kemudian mengajukan banding untuk membatalkan gugatan cerai Sheryl dengan alasan mereka masih saling mencintai dan semua yang tejadi hanya salah paham.

Mengetahui hal itu, Jace nyaris kehilangan kesabaran dan memukul kepala Franzine yang keras dengan tongkat bisbol di bawah meja kerjanya. Franzine sedang menggali kuburannya sendiri dengan membuka lahan pelan dengan Sheryl. Perang yang mustahil untuk dimenangkan olehnya. Franzine hanya sedang berperang dengan egonya sendiri.

Jace sendiri, sejujurnya, berharap supaya Sheryl yang memenangkan hak asuh si kembar Shane dan Shuli. Ia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi apabila hak asuh anak dimenangkan oleh Franzine. Bagaimana dia bisa mengasuh dua orang anak perempuan kembar yang sedang berada di usia emas mereka, dengan pekerjaannya yang berbahaya, gaya hidupnya yang tidak teratur, dan jadwalnya yang serba tidak terduga. Bahkan ketika masih bersama Sheryl saja, dia sering mengabaikan mereka untuk urusan kantor dan penyelidikan yang menyita waktu, yang membuat Sheryl menyerah dan memilih bercerai.

Franzine hanya arogan dan tidak ingin dikalahkan. Jace sangat mengenal watak sahabatnya itu, yang kadang-kadang tidak masuk akal dan terlalu mengutamakan ambisi. Hal mana telah menghancurkan perkawinannya juga.

Jace meletakkan cangkir kopi di depan Franzine dan menarik kursinya untuk duduk di dekat kursi Franzine. “Minumlah, Franz. Kopi akan membuat kantukmu hilang dan kewarasanmu kembali—kalau kau masih memilikinya.”

“Sialan, kau,” gumam Franzine dengan nada sebal, tetapi diraihnya juga cangkir kopi yang disodorkan oleh Jace dan disesapnya cairan hitam itu.

“Pulanglah dan tidur. Kau tampak seperti zombie.”

“Aku ... tidak bisa pulang. Kamar studio itu kecil, hanya sepersepuluh rumahku, tetapi kekosongan kamar sekecil itu membuatku merasa sangat terhimpit. Aku benci pulang,” gumam Franzine dengan nada sedih.

“Aku merasakan hal seperti itu. Dulu, di bulan-bulan awal setelah perceraianku dengan Monia. Kau akan terbiasa setelah enam sampai delapan bulan setelah fase ini. Percayalah.”

Franzine menghela napas, menyandarkan kepala pada sandaran kursi, dan menatap langit-langir kantor yang berwarna kusam. Ia merindukan si kembar. Tawa dan celoteh mereka bergema di setiap sudut pendengarannya. Ia juga merindukan Sheryl dan kehangatan tubuhnya di saat malam-malam belakangan dilaluinya sendiri.

Franzine pindah ke apartemen dan menyewa sebuah kamar berukuran sedang, dua bulan setelah sidang gugatan cerai yang diajukan Sheryl mulai berjalan.

Kamar itu memiliki sebuah dapur kecil dengan meja makan bulat untuk dua orang, ruang tamu yang berfungsi ganda sebagai ruang keluarga (yang tidak lagi dimilikinya)—dengan televisi menempel ke dinding, rak buku dan meja kopi di atas karpet persia tebal yang dibelinya di pasar barang bekas, sebuah kamar yang hanya memuat sebuah tempat tidur nomor dua dan lemari pakaian, dengan kamar mandi kecil di dalamnya.

  Jace menyebut apartemennya itu sebagai sarang bujang lapuk dan menghasilkan sebuah tamparan keras di punggungnya dari tangan Franzine yang besar.

Franzine menyerahkan rumah yang dibelinya dengan Sheryl selagi mereka berdua masih sama-sama bekerja, untuk Sheryl dan kedua putrinya. Diam-diam ada rasa malu di hati Franzine, ketika kemudian ia mengetahui bahwa rumah itu telah dialihnamakan kepada kedua putrinya dan Sheryl sebagai wali untuk mereka, sampai keduanya cukup umur di mata hukum. Sheryl terlalu baik. Hal itulah yang akhirnya membuat Franzine menyerah dan memutuskan untuk membiarkan pengadilan menyerahkan hak asuh anak kepada Sheryl.

Franzine meraih jaketnya yang digantung di sandaran kursi. Ia bersyukur tidak ada kasus berat yang harus ditanganinya akhir-akhir ini. Perasaan kesepian dan kehilangan yang dirasakannya akhir-akhir ini nyaris melumpuhkan seluruh inderanya dan ia tidak yakin bisa bekerja dengan baik.

“Aku pulang, Jace. Kau benar. Aku perlu tidur. Pingsan untuk beberapa hari, mungkin, sampai perasaanku lega.”

Jace mengangguk. “Pergilah. Aku tidak mau kau merusak dirimu sendiri, padahal aku tahu apa yang kau lalui akhir-akhir ini juga sudah cukup banyak membuatmu luka.”

“Thank.”

“Hubungi aku kalau kau membutuhkan sesuatu.”

Franzine melambaikan tangan sambil berjalan keluar dari pintu ruangan kantornya. Ia merasa perutnya bergerak-gerak dan bersuara. Lapar. Sesungguhnya, Franzine bahkan tidak ingat kapan terakhir kali ia makan. Ia memutuskan untuk berbelok ke kafetaria dan membeli makanan untuk dibawa pulang, sebelum pulang supaya tidak perlu mampir ke mana-mana.

“Franzine, kau mau ke mana?”

Sebuah suara membuat Franzine menghentikan langkahnya di pertigaan koridor. Brad Maddocks—atasannnya mengerutkan kening kepadanya sambil berkacak pinggang. Wajahnya sama sekali tidak tampak senang.

“Aku ... mau makan,” jawab Franzine sambil memegangi perutnya.

“Tunda dulu! Kembali ke ruanganmu dan kumpulkan semua orang. Ada kasus baru.”

Huft! Franzine menepuk perutnya sendiri. Ia berbalik dan berjalan cepat kembali ke ruangannya. Perasaan sedih dan kesepiannya bisa menunggu untuk dipuaskan, sedangkan Brad tidak.

***o*o***

Snakeroot Killerحيث تعيش القصص. اكتشف الآن