Bab 15. Kembali Ke Happy Kitchen

40 16 1
                                    

“Jadi mereka memang saling terhubung,” gumam Jace sambil membolak-balik kertas bon lusuh yang tulisannya hampir terhapus. “Untuk apa menulis nama dan nomor telepon seseorang di atas bon seperti ini kalau bukan orang yang menulis mengenal orang yang memberikan nama dan nomor teleponnya, kan?”

“Hm,” angguk Franzine. “Setidaknya, mereka mungkin memang kebetulan baru berkenalan saat itu, atau sudah lama tidak bertemu dan baru bertemu lagi. Yang jelas, lokasi mereka bertemu dan saling bertukar nama dan nomor telepon adalah di Happy Kitchen.”

“Pembunuhnya benar-benar hanya mengincar wanita-wanita lajang, supaya mudah mengerjai mereka, ya?”

“Aku tidak terlalu yakin soal mengerjai mereka, karena sepertinya dia benar-benar cermat merencanakan pola pembunuhannya. Lagipula, melihat cara dia memperlakukan korban setelah diracuni juga sedikit berbeda satu sama lain.”

“Kita harus mencari seseorang yang mengenal ketiga korban, mempunyai motif kuat untuk membunuh mereka, dan suka bermain dengan racun.”

Franzine mengempaskan tubuh ke sandaran sofa dan menyugar rambutnya yang sudah mulai panjang sampai menusuk ke dalam mata, ke belakang kepala. Ia merasa frustasi dengan perkembangan kasus pembunuhan berantai dengan racun yang berjalan sangat lambat seperti kura-kura ini.

“Ayo kembali ke Happy Kitchen,” ujar Jace sambil menarik tangan Franzine. “Setidaknya sekarang kita punya alasan kuat kenapa kembali ke sana.”

“Richard McNamara akan meneriaki kita soal surat ijin,” keluh Franzine.

“Aku sudah mendapatkannya.”

“Huh? Kau bercanda?”

“Tidak. Nih!”

Franzine menatap sehelai kertas yang dilambai-lambaikan oleh Jace di depan matanya dan ia hampir melompat menyambar jaketnya dari sandaran kursi.

“Ayo!”

Franzine dan Jace tiba di Happy Kitchen ketika sedang jam sibuk dan kedatangan mereka tentu saja disambut dengan kerlingan sinis mata sang pemilik—Richard McNamara. Laki-laki itu melambaikan tangan kepada salah satu anak buahnya, menyuruh dia mengantar kedua detektif untuk menunggu di kantornya.

“Kau pekerja lepas di sini?” tanya Franzine pada anak muda yang mengantar mereka ke kantor Richard di bagian belakang toko. “Aku belum pernah melihatmu sebelumnya.”

“Ya, Tuan. Saya kebanyakan bekerja di peternakan, bukan di toko. Tuan Jack yang mempekerjakan saya, untuk membantunya mengurus ternak.”

Franzine mengamati anak muda yang berdiri di depannya. Anak muda itu berdiri dengan sikap hormat. Ia menilai, anak muda itu terlalu perlente untuk menjadi seorang pekerja di peternakan. Rambut dan matanya yang berwarna coklat tua, serasi dengan kulitnya yang berwarna seperti madu. Dia tinggi dan langsing, tetapi Franzine dapat melihat bayangan otot-otot yang bergerak di balik kemeja katun berwarna hijau pudar yang dipakainya, Dia seharusnya menjadi seorang model, pikir Franzine.

“Sudah berapa lama kau bekerja di sini?”

“Mungkin sekitar enam atau tujuh bulan, Tuan.”

“Kau tinggal di mana?”

“Saya tinggal di peternakan, karena pekerjaan saya dimulai dari pukul empat pagi, sehingga Tuan Jack menginginkan saya tinggal di sana. Dia memberi saya sebuah kamar di pondok dekat kandang.”

“Siapa namamu?” tanya Jace, yang mulai tertarik dengan percakapan antara Franzine dengan anak muda yang tampan itu.

“Keith, Tuan. Keith Granero.”

Snakeroot KillerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang