Bab 10. Pertengkaran Masa Lalu

70 23 7
                                    

“Franz, ini catatan yang kau minta kemarin.” Lusia menyerahkan sebuah map berwarna biru ke tangan Franzine yang sedang tepekur menatap laptop di depannya. “Kau belum selesai?”

Franzine mendongak dan tersenyum kepada Lusia. Ia menunjuk laptop dan menggelengkan kepala. “Ini benar-benar pekerjaan yang menyebalkan. Aku merasa lebih baik sakit kaki dan berdarah mengejar para penjahat sialan itu, daripada menulis laporan seperti ini.”

Lusia tertawa geli dan membalikkan tubuh, bermaksud kembali ke mejanya, tetapi tangan Franzine menahan lengannya. Ia berbalik dan menatap Franzine dengan alis terangkat.

“Aku harus menemui si kembar,” ujar Franzine memelas.

“Huh? Apa hubungannya denganku?” tanya Lusia bingung.

Franzine menunjuk laptopnya dan melebarkan senyum. “Aku akan membelikanmu kopi tiga hari berturut-turut mulai besok.”

Lusia mendengkus dan membayangkan kencan buta yang akan diikutinya nanti malam, menghilang seiring laporan milik Franzine yang sudah pasti penulisannya juga pasti berantakan.

“Tiga kali makan siang, deal or no deal.”

Franzine menyambar jaketnya dari sandaran kursi dan mencubit dagu Lusia sambil tersenyum lebar. “Deal!”

Franzine melangkah lebar keluar dari ruangan dan nyaris bertabrakan di depan pintu dengan Gramm. Ia menyambar bagian depan jaket laki-laki yang sempoyongan itu supaya tidak terjatuh.

“Woah, kau seperti buldozer, Kapten,” ujar Gramm sambil tertawa. “Kenapa terburu-buru begitu? Ada kasus baru?”

“Tidak. Aku akan menemui anakku dan ini sudah terlambat lebih dari sepuluh menit dari yang kujanjikan kepada mereka.”

“Hm.” Kening Gramm berkerut dan ia menunjuk ke depan. “Sepertinya kau akan terlambat lebih lama, Kapten. Ada seorang wanita mencarimu. Tuh, di depan. Dia tidak mau masuk.”

Franzine melihat ke arah yang ditunjuk oleh Gramm dan matanya membentur sosok agak bungkuk seorang wanita yang terbungkus mantel berwarna coklat. Wanita itu berdiri di dekat pintu masuk dan matanya menatap sekeliling loby kantor polisi.

“Aku perlu kopi,” gumam Gramm sambil masuk ke ruangan.

Franzine mendekati wanita yang berdiri di depan pintu itu. “Ma’am, apa kau memerlukan bantuan?” tegur Franzine sopan.

Wanita itu berjengit, terkejut karena teguran Franzine yang tiba-tiba. Ia mendongak menatap Franzine yang tingginya dua kepala lebih darinya. “Uh, saya perlu melaporkan, ah, bukan, hanya memberikan informasi saja sedikit.”

“Informasi soal ...?” Franzine sengaja menggantungkan pertanyaan.

Wanita itu mendekat kepada Franzine dan berbisik. “Ini soal wanita-wanita yang mati itu.”

“Banyak wanita yang mati belakangan ini,” gumam Franzine. Ia tersenyum kepada wanita itu dan mencoba bersabar meskipun ia gelisah karena tahu bahwa beberapa saat lagi teleponnya mungkin akan berdering. Panggilan dari si kembar atau lebih parahnya, dari Sheryl.

“Saya kenal pada Nyonya Antonia dan Elaine. Saya pernah bekerja di sekolah yang sama dengan mereka,” ujar wanita itu dengan sikap yang takut-takut.

Alis Franzine terangkat. Ia merogoh saku jaket dan mengambil telepon, kemudian berbicara lagi kepada wanita itu. “Ma’am, dapatkah Anda menunggu saya menelepon sebentar? Saya akan berbicara dengan Anda lima menit lagi. Silahkan masuk dan duduk di sana sebentar.”

Wanita itu menatap Franzine ragu-ragu, tetapi kemudian masuk ke dalam loby dan duduk di salah satu kursi yang tersedia. Franzine meninggalkannya sebentar untuk menelepon.

Snakeroot KillerWhere stories live. Discover now