Bab 16. Para Ayam Tidak Bersalah

38 15 6
                                    

“Jace, tempat itu bersih,” sergah Franzine kesal. “Mereka semua sehat, terawat dengan baik, dan sangat bersih.”

“Aku tahu, Franz. Aku melihatnya sama seperti kau juga melihat mereka. Aku hanya merasa, ada yang salah dengan tempat itu,” keluh Jace sambil mengacak-acak rambutnya sendiri. “Aku khawatir, ada yang terlewat dari pandangan kita.”

Dokter Albern masuk ke ruang istirahat dengan membawa sebuah map berwarna biru. Wajahnya datar, tetapi matanya menyiratkan kekhawatiran. Ia menyodorkan map di tangannya kepada Franzine.

“Kalian sedang membicarakan siapa?” tanya dokter Albern sambil menghenyakkan diri di salah satu kursi.

“Ayam,” jawab Franzine singkat. Ia menatap map di tangannya tanpa minat. “Kau menemukan sesuatu, dok?”

“Tidak. Tidak ada yang salah dengan para ayam itu. Jadi, anak buahku memanggang mereka setelah kami memastikan mereka baik-baik saja.”

“Hei, kau tidak boleh memakan mereka,” seru Jace semakin kesal. “Mereka itu barang bukti.”

“Barang bukti yang tidak membuktikan apapun dan akan segera membusuk dalam dua hari? Kau tidak pernah diajarkan oleh ibumu untuk tidak membuang-buang makanan?” balas dokter Albern dingin.

“Apa yang salah menurutmu, dok? Mengapa kita selalu menemui jalan buntu, bahkan setelah ada korban ketiga?” tanya Franzine. “Mereka memiliki tanda-tanda kematian yang sama.”

“Sepertinya kalian harus menyelidiki dari arah yang lain. Mungkin, bukan dari apa yang menyebabkan mereka tewas, tetapi siapa dan mengapa,” jawab dokter Albern. “Aku sudah bertahun-tahun bekerja sama dengan kepolisian dan selama ini banyak kulihat kalian salah menaruh fokus penyelidikan.”

Jace mendengkus. Ia meraih map di tangan Franzine dan keluar dari ruang istirahat. Ia tahu apa yang dikatakan oleh dokter forensik berkacamata itu ada benarnya, hanya saja terasa tidak menyenangkan mendengarnya dari orang “luar”.

“Temanmu perlu cuti sebentar untuk menjernihkan pikirannya,” ujar dokter Albern sambil tertawa. Ia berdiri dari kursinya dan berjalan keluar dari ruangan. “Oya, omong-omong, sepertinya aku akan mulai berlangganan ayam potong dari Happy Kitchen. Mereka punya ayam yang segar dan empuk dagingnya.”

“Leluconmu agak menyeramkan, dok.”

“Hei, tidak ada yang menyeramkan dari seekor ayam mati yang tidak bersalah.”

Franzine keluar setelah beberapa saat merenung sendiri. Ia belum pernah merasakan kecemasan seperti yang sekarang mulai merambati pikirannya. Ia merasa bahwa kematian Monica Haven bukanlah yang terakhir. Akan ada korban lain dan ia tidak tahu siapa, kapan akan tewas, dan di mana dia berada.

Franzine duduk di kursi kerjanya, membuka laptop dan mencoba meneliti kembali rekaman cctv yang didapatkan dari tempat kejadian perkara pada ketiga korban. Ia mengamati setiap rekaman, mencoba menemukan apakah ada orang-orang yang bersikap mencurigakan pada saat korban ditemukan dan polisi sedang memproses tempat kejadian perkara.

Selalu ada kerumunan pada setiap saat seperti itu. Di mana banyak orang di sekitar tempat kejadian perkara berkumpul dan bergerombol untuk bergosip atau sekedar ingin tahu. Untuk beberapa kasus tertentu, kerumunan di sekitar tempat kejadian perkara bisa menguntungkan untuk polisi, karena beberapa orang pembunuh biasanya akan kembali ke sana. Mereka memerlukan saat di mana mereka bisa merasa puas karena akhirnya hasil kerja mereka diketahui dan diakui sebagai sesuatu yang membingungkan polisi. Seringnya, mereka juga perlu memastikan bahwa korban yang mereka bunuh sudah benar-benar mati, atau kalau ternyata belum, mereka bisa merencanakan untuk kembali.

Snakeroot KillerDove le storie prendono vita. Scoprilo ora