Bab 3. Korban Pertama

112 30 1
                                    

“Namanya Antonia Gerard, 60 tahun. Baru dua tahun yang lalu dia pensiun sebagai guru sekolah dasar Paradiso City. Dua orang anaknya—laki-laki dan perempuan tinggal di luar kota. Mereka sudah berkeluarga. Dia tinggal sendiri bersama tiga ekor kucing Persia. Seorang asisten rumah tangga datang setiap hari Sabtu untuk membereskan rumah dan mencucikan pakaiannya,” papar Jace sambil mencoret-coret papan tulis putih dengan spidol merah.

“Dia menjalani kehidupan yang tenang setelah pensiun. Khas kota kecil, wanita tua pensiunan dengan kucing dan kebun,” gumam Brad. Ia teringat ibunya sendiri.

Pada papan tulis putih itu foto Antonia Gerard semasa hidup telah ditempelkan dengan magnet. Di usia yang ke 60, almarhumah Antonia Gerard tampak awet muda dan sehat, dengan mata sipit yang ramah dan senyum manis yang lembut.

Di bawah fotonya yang menarik itu, adalah beberapa foto yang telah diambil oleh tim forensik setelah kematiannya. Tidak ada yang menarik sama sekali dari foto-foto itu. Sebenarnya, memang tidak pernah ada yang menarik dari foto-foto orang yang sudah mati, secantik apapun ketika dia hidup.

Antonia Gerard pada foto-foto dibawah fotonya semasa hidup sangatlah berbeda. Tujuh orang polisi di dalam ruangan itu, termasuk Franzine, meringis saat menatap kondisi jenasah Antonia di dalam foto.

Seluruh tubuh Antonia Gerard berwarna biru kehitam-hitaman. Perutnya sangat datar, seolah-olah dia telah kehilangan isi perutnya sebelum meninggal. Ada beberapa goresan pada tangan dan kakinya, dan memar-memar yang sudah nyaris berwarna hitam. Memar berwarna kehitaman juga terlihat jelas pada bagian dahinya.

“Apa penyebab kematiannya?” tanya Franzine. Ia mendekatkan dirinya pada sebuah foto di bagian bawah, mengamati salah satu foto.

“Keracunan makanan. Itu yang paling mungkin,” jawab dokter Albern Gregory—yang mewakili tim forensik dari Badan Forensik Daerah. “Kami menduga, kematiannya sudah lebih dari dua hari, karena ketika pihak kepolisan menemukan jasadnya setelah menerima laporan para tetangga yang mencium bau tidak enak dari rumahnya, beliau sudah dalam keadaan seperti ini. Lihat, lebam pada tubuhnya sudah menjelang pada warna ungu kebiruan dan beberapa sudah hampir menghitam.”

Franzine menunjuk sesuatu pada foto. “Mengapa tangan korban dalam posisi seperti ini? Apa sebelumnya dia mencengkeram sesuatu?”

“Itu adalah gerakan yang biasanya terjadi pada seseorang yang menahan gemetar hebat pada tubuhnya. Kuku-kukunya tidak panjang, tetapi telapak tangannya mendapatkan luka tusukan yang cukup dalam dari kukunya. Dia melukai telapak tangannya sendiri dengan kukunya.”

“Apa itu artinya, korban mengalami sesi menjelang kematian yang menyakitkan?” tanya Brad.

  Albern menghela napas panjang dan dengan gerakan kaku menaikkan kacamata bulatnya yang merosot sampai ke ujung hidung, kembali ke pangkal hidungnya. “Saya menyesal harus mengatakannya, tapi ya, korban pasti sangat kesakitan saat itu. Dia bahkan menggigit lidahnya sendiri. Untung tidak sampai putus.”

“Apa yang membuat perutnya seperti ini? Apa pembunuhnya mengambil isi perutnya?” tanya David Laniga sambil menunjuk salah satu foto.

“Belum ada kata pembunuhan yang bisa ditempelkan di sini, Tuan David,” sanggah Jace dengan wajah suram. “Melihat gejala-gejalanya, bisa jadi ini adalah kasus kematian akibat keracunan yang disebabkan oleh kelalaian sendiri. Banyak kemugkinan yang perlu dibahas sebelum menetapkan kasus ini sebagai pembunuhan. Sayangnya, kita tidak dilibatkan dalam pemeriksaan awal di tempat kejadian perkara. Kau tahu, kan, polisi lokal selalu ingin mengambil sebuah kasus ke tangan mereka sendiri dan baru melimpahkannya kepada kita kalau mereka merasa tidak sanggup. Mereka itu brengsek!”

David menggaruk-garuk kepalanya dengan wajah merah padam. Ia adalah anggota termuda di divisi kejahatan berat dan masih perlu banyak belajar. Dia belajar memang, tetapi seadanya saja, dan sisanya mengandalkan keberuntungan pada posisi pamannya—Brad Maddock.

Snakeroot KillerWhere stories live. Discover now