Bab 13. Korban Ketiga

35 14 4
                                    

“Namanya Monica Haven, 52 tahun, janda tanpa anak. Suaminya meninggal sepuluh tahun yang lalu dan sejak saat itu dia selalu hidup sendiri,” ujar Lusia, membacakan catatan pada buku memo kecilnya. “Dia baru pensiun dari pekerjaannya sebagai seorang petugas sosial lima tahun yang lalu karena menderita penyakit rematik yang membuat mobilitasnya agak terganggu. Uang pensiunnya tidak terlalu besar dan tampaknya dia juga bukan orang yang terlalu boros. Lemari pendingin nyaris kosong, peralatan dapurnya kebanyakan sudah tua, dan menilik dari isi lemari pakaiannya, dia juga tidak suka berbelanja.”

“Artinya?” tanya Jace sambil lalu. Ia sedang meneliti kondisi jenasah korban yang masih tergeletak di atas tempat tidur.

“Untuk orang sehemat dia, pasti ada bon-bon toko, tanda terima pembelian, atau mungkin kwitansi untuk setiap transaksi jual beli yang dia lakukan,” sahut Franzine dari arah kamar mandi.

“Aku mempunyai seorang Sepupu jauh yang pola hidupnya mirip dengan korban,” gumam Lusia sambil menyisir lemari rias. “Dia suka menyelipkan bon-bon pembelian barang di mana-mana, khas wanita tua yang hemat.”

“Kali ini, setidaknya kita tahu bahwa si pembunuh kemungkinan memiliki kecenderungan sebagai pengidap OCD. Dia bahkan mencuci dan mengeringkan kembali handuk-handuk dan pakaian Monica sebelum meninggalkannya di atas tempat tidur.”

“Dia hanya ingin mengejek kita,” dengkus Jace sambil memutar mata. “Sakit jiwa. Dua korban lainnya hanya dibersihkan seadanya, cukup agar tidak ada jejaknya yang tertinggal di lokasi, tetapi dia memperlakukan Monica dengan berbeda. Dia bukan hanya berusaha menghapus jejaknya, tetapi aku merasa dia juga ingin menunjukkan penghormatan kepada Monica, dengan menidurkannya di atas tempat tidurnya sendiri.”

Franzine tercenung. Ia berdiri di samping tempat tidur di mana jenasah Monica masih terbaring. Posisi Monica berbaring lurus dengan kedua tangan saling bersilang di atas perutnya yang nyaris rata. Kalau bukan karena raut wajahnya yang menunjukkan tanda-tanda kerusakan otot akibat menahan sakit sehingga membuatnya terlihat mengenaskan, orang akan mengira dia meninggal di dalam tidur.

Franzine, Jace, dan Lusia mengambil kesimpulan bahwa pembunuhnya menunggui saat Monica meregang nyawa, kemudian membersihkan dan membaringkannya di atas tempat tidur. Dokter Albern berwajah murung ketika menyatakan bahwa Monica pasti sudah meninggal lebih dari dua hari sebelum ditemukan, karena sudah ada tanda-tanda menuju proses pembusukan organ, sehingga sulit mendeteksi racun yang membunuhnya. Perutnya yang kosong sama sekali saja yang menunjukkan bahwa dia keracunan dan mengeluarkan semua isi perutnya sampai kehilangan nyawa. Usia dan kondisinya yang tidak terlalu sehat membuat Monica menjadi lebih lemah.

“Kau bilang, pembunuhnya ingin menunjukkan penghormatan kepada Monica dengan membaringkannya di atas tempat tidur?” tanya Franzine.

“Hm. Coba bandingkan dengan dua korban sebelumnya. Antonia dibiarkan berbaring di lantai, begitu juga dengan Elaine. Malah, pada Elaine, sepertinya si pembunuh sengaja berlama-lama membiarkan Elaine merasakan kesakitan. Goresan kuku-kuku Elaine pada lantai dan bentuk tubuhnya yang meliuk-liuk, jelas bahwa si pembunuh sengaja membiarkan Elaine menikmati kesakitannya.”

“Dendam. Dia menaruh dendam yang mendalam kepada Elaine, membenci Antonia, dan merasa galau menentukan perasaannya kepada Antonia,” gumam Franzine. “Dia pasti telah merencanakan setiap langkah dengan cermat, bahkan memperhitungkan caranya membunuh sesuai dengan apa yang dirasakannya kepada setiap korban.”

“Itu artinya, dia mempunyai hubungan yang dekat dengan setiap korban. Tidak mungkin seseorang bisa membunuh dengan begitu cermat dan penuh perhitungan, kalau dia hanya seorang pembunuh acak. Dia menaruh perasaan terhadap setiap korbannya dan menghabisi mereka sesuai dengan kadar kemarahan dan kebencian di dalam dirinya,” lanjut Jace setengah menggeram. “Sialan! Ini membuatku semakin kesal.”

Dokter Albern masuk ke dalam kamar dan mendekati Franzine dan Jace yang sedang menatap jenasah Monica di atas tempat tidur. Lusia mengangguk kepadanya  sekilas dan kembali asyik mencari petunjuk.

“Anak buahku akan membawanya,” ujar Albern sambil menepuk bahu Jace. “Kita harus melakukan autopsi, meskipun aku tidak yakin akan ada hal lain yang kita temukan padanya.”

“Jalan buntu yang lain, dok?” tanya Franzine setengah mengeluh.

“Semoga saja tidak.”

Franzine dan Jace menatap kosong ketika beberapa orang petugas forensik, anak buah dokter Albern membawa jenasah Monica Haven keluar dari kamar dalam kantong mayat. Dokter Albern juga berjalan keluar mengikuti anak buahnya setelah memberi anggukan penuh simpati kepada Franzine dan Jace.

“Jalan buntu yang lain,” ujar Lusia. Ia menunjukkan setumpuk kertas, kebanyakan sudah berwarna kekuningan, sobek-sobek, dan pudar tidak terbaca tulisan di atasnya. “Aku tidak yakin ini akan banyak membantu. Kebanyakan sudah tidak terbaca dan kelihatannya berasal dari bertahun-tahun yang lalu.”

Franzine mengambil salah satu kertas. Ia mengerutkan kening saat mencoba membaca isi kertas itu. “Pembelian dua kotak tissue dan pembersih lantai? Tiga tahun yang lalu?”

Lusia tersenyum miris, tetapi ia tetap memasukkan semua kertas-kertas itu ke dalam amplop plastik barang bukti. “Aku akan mencari lagi. Mungkin, ada sesuatu di lantai bawah.”

Franzine dan Jace sekali lagi menyusuri seluruh kamar dan kamar mandi, penasaran dengan jejak yang mungkin tertinggal. Mereka menyerah pada waktu yang bersamaan dan turun ke lantai satu sambil membisu.

“Aku akan kembali ke kantor,” ujar Jace setelah melihat-lihat sekitar ruang tamu. Tidak banyak yang dapat mereka periksa, karena tempat itu sudah disisir dengan cermat oleh tim forensik. Bagaimanapun, kadang-kadang ada petunjuk kecil yang luput dari penglihatan tim forensik, atau tidak disadari sebagai bukti, tetapi kali ini sepertinya semua sudah diperiksa dengan teliti. “Brad pasti menunggu laporan dengan gelisah, seperti seekor kambing menyadari ekornya terbakar pelan-pelan, tetapi dia tidak tahu bagaimana cara mematikan apinya.”

Franzine tertawa mendengar lelucon itu, meski ia tidak sepenuhnya merasakan kelucuan dari ucapan Jace. Ia menunjuk ke dapur, di mana Lusia sepertinya sedang asyik membongkar ulang isi lemari makan Monica.

“Pergilah. Aku akan menemani Lusia sebentar lagi.”

Franzine masuk ke dapur kecil, bergabung dengan Lusia, setelah mendengar suara mobil Jace menjauh dari halaman. Anak buahnya itu sedang berjongkok di depan sebuah lemari tua, mengarahkan senter ke dalamnya sambil sesekali bersin.

“Debu?” tanya Franzine seraya menyodorkan tissue.

“Debu, barang-barang tua, dan seekor tikus mati yang sudah kering.” Lusia menarik sesuatu dari bagian dalam lemari dan menyodorkannya kepada Franzine. Benar-benar seekor tikus mati yang sudah kering. Franzine mengambil benda itu dari tangan Lusia dan membuangnya ke tempat sampah di dekat pintu.

“Kau tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan? Tim forensik kadang-kadang melewatkan sesuatu juga.”

“Tidak. Belum.”

Franzine memandang berkeliling, mencoba memetakan apa yang dilihatnya di dapur kecil itu dalam ingatannya. Ada sesuatu yang mengusik perasaannya, seolah-olah ia telah melewatkan sesuatu yang penting.

Lusia berdiri sambil menepuk-nepuk lututnya dan menutup kembali lemari di depannya. “Tidak ada apa-apa.”

“Kau merasakan tidak? Sepertinya ada sesuatu yang kita lewatkan di sini,” ujar Franzine sambil melihat-lihat sepen dan lemari di bawah dapur. “Sesuatu yang penting.”

Kening Lusia berkerut dan ia membuka-buka buku catatannya. “Apa yang kita lewatkan?” gumamnya.

“Ada sesuatu yang hilang. Aku merasa seharusnya benda itu ada di sini, karena itu adalah salah satu petunjuk kita yang paling penting dalam dua kasus sebelumnya.”

Franzine duduk di salah satu kursi pada konter dan menopang kepalanya dengan kedua tangan, sementara Lusia masih sibuk membolak-balik buku catatannya dan sesekali bergumam sendiri.

Tiba-tiba Franzine menggebrak meja dan menatap Lusia yang terkejut.

“Mana botol susunya?” tanya Franzine.

Lusia meneguk saliva. Ia baru menyadari, tidak ada satupun botol susu ditemukan di rumah ini.

***

Snakeroot KillerWhere stories live. Discover now