12. Orang Terdekat

902 212 34
                                    

"Apaan, sih?" sewot Haruto yang merasa tak nyaman saat diperhatikan dengan seksama oleh Mao. "Suka lo sama gue?"

"Najis!" umpat Mao yang kembali membaca beberapa berkas di ponselnya. "Watanabe Haruto ..., Watanabe Seira .... Wanjing, lah!"

Haruto tertawa pelan. "Ya, lo tolol!" ledeknya. "Masa iya kagak tau nama bos sendiri."

"Dia selalu nyingkat nama depannya anjir!" sewot Mao tak terima disalahkan. "Pantesan gue kalo liat Kak Sei kayak nggak asing, ternyata mirip sama lo, Anjir!"

Tak lagi mempedulikan perkataan Mao, Haruto melanjutkan sarapan paginya. Dua remaja itu sedang berada di bandara, bersiap untuk menyusul Seira dan menyelesaikan sesuatu, sesuai dengan permintaan kakaknya.

"Eh, ini sore juga balik, kan, To?"

Haruto mengangguk, mulutnya dipenuhi oleh roti. Menelan sarapannya, lalu menikmati cola di pagi hari. Lumayan, pergi bersama Mao berarti bebas memakan apapun tanpa terkena ceramah.

"Gue kagak izin ke luar kota tau," kata Mao. "Cuma bilang keluar doang."

"Bilang keluar sama gue?"

"Kagak, gue cuma bilang keluar," balas Mao. "Sore pasti pulang kan ya?"

"Pulang, gue juga kagak izin ke Bunda," jawab Haruto santai. Ia benar-benar tidak kapok, padahal sebelumnya sudah terkena omel karena pergi keluar kota tanpa izin. "Udah belum? Ayok berangkat sekarang."

"Eh, lo kagak izin ke Bunda emang aman?" tanya Mao. "Kalo kenapa-kenapa di jalan gimana? Durhaka lo ngebohong ke orang tua."

Tatapan sinis Haruto berikan kepada Mao. "Ngaca, Sist!" ucapnya menyindir Mao. "Lo lebih sering ngebohong ke orang tua."

Mao seketika bungkam. Ia kalah dan mengakui bahwa dirinya jauh lebih sering berbohong kepada orang tuanya. Ah, kepada dirinya sendiri juga Mao sering berbohong, tentang rasa lelah, takut, bahkan perasaan di dalam hatinya.

"Lo deket kagak sama Kak Sei?"

"Menurut lo?" Haruto balik bertanya. Keduanya berjalan beriringan untuk menaiki pesawat.

Mao berpikir sebentar, ia berjalan mengikuti Haruto. "Gue pernah nanya ke Kak Sei, dia punya adik atau nggak, tapi Kak Sei jawaban nggak. Dia bilang, dia anak tunggal."

"Dari jawabannya aja udah ketebak kalo gue nggak deket sama dia."

"Senggak deket itu?" tanya Mao. "Lebih parah dari gue sama Asahi?"

"Lo sama Kak Ei itu sama," jawab Haruto sembari membantu Mao untuk menaiki tangga, ia memastikan temannya itu tidak jatuh. "Nggak mau diperhatiin sama sodara, malah sok-sokan bisa sendiri."

Mao tak lagi berkomentar, keduanya sudah duduk di dalam pesawat. "Lo nggak deket sama Kak Sei dan dari penilaian gue Kak Sei nggak memperlakukan lo dengan baik, tapi kenapa sekarang waktu dia butuh lo bantu juga?" tanya Mao tiba-tiba saja penasaran.

"Anak-anak kelas aja kalo butuh bantuan ke gue pasti dibantu, masa sekarang sodara sendiri kagak gue bantu."

"Lo dulu deket sama Kak Sei?"

Haruto menggeleng. "Kak Sei benci banget sama gue, kayak lo ke Asahi. Bedanya, kalo lo benci Asahi karena menilai dia yang bikin bokap lo meninggal, sedangkan Kak Sei benci gue karena menilai gue sebagai perebut Papa," jelas Haruto. "Ya, intinya lo berdua nilai kalau kalo sodara laki-laki kalian itu yang buat Papa kalian pergi."

"Lo selalu berusaha akrab sama Kak Sei?"

"Gue bahkan udah sering ditolak sama sodara perempuan gue sendiri sejak kecil," balas Haruto. "Kak Sei nggak pernah anggap gue ada."

METAMORPIKIR SEMPURNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang