44. Jealous

641 164 21
                                    

Mara terus melirik tajam Haruto yang berhasil mengusir Ode--salah satu anak konglomerat yang Mara harap dapat berada di kubunya nanti--beberapa menit lalu. Remaja kelas 12 itu sedikitpun tak merasa bersalah. Ia bahkan tersenyum tipis dan dengan semangat bersalaman pada Ode saat lelaki yang berusia 2 tahun lebih tua darinya itu berpamitan.

"Nggak sopan!" sinis Mara para Haruto yang kini menempati kursi bekas Ode. "Kamu, tuh, secara nggak langsung ngusir Kak Ode."

"Nggak, tuh," bela Haruto, suara berat lelaki itu sedikit menukik. "Bukan secara nggak langsung, tapi emang secara langsung."

Mata Mara sudah membulat sempurna. Bisa-bisanya Haruto dengan lantang bilang kalau ia memang mengusir lelaki parlente tadi. "Kak Ode itu bisa jadi penyelamat aku kalau nanti Papa sama Mama cerai."

"Harus banget dia?" sahut Haruto cepat. Ia balas menatap tajam Mara. "Kayaknya dia bukan orang baik, deh."

Tak lagi mempedulikan Haruto, Mara memilih untuk bersiap pergi, memanggil pelayan restoran untuk membayar. Namun, saat akan menyerahkan kartu debitnya, Haruto lebih dulu menyodorkan kartu debit miliknya. Sedangkan Mara yang terlalu malas ribut hanya membiarkan Haruto membayar semua makanannya dengan Ode.

"Abis ini mau ke mana?" tanya Haruto. "Nonton, yuk?"

"Mau kumpul sama anak kelas," sindir Mara mengungkit kebohongan Haruto. Perempuan itu masih emosi, ia bahkan melirik sinis pada Haruto yang masih tidak merasa bersalah. "Tuh, udah beres. Sana pulang!"

Haruto masih tetap merasa tak bersalah. Lelaki itu ikut beranjak, mengikuti Mara yang bersiap untuk keluar. "Mau langsung pulang?" tanya Haruto seakan tak peduli dengan Mara yang suasana hatinya sudah buruk.

"Kamu aja yang pulang, aku masih ada urusan. Di basement juga ada Pak Yo nungguin."

"Pak Yo aja yang pulang," balas Haruto semakin membuat Mara emosi, "kamu sama aku."

Ini antara Haruto yang lagi beneran resek atau mood Mara yang tidak begitu bagus. Perempuan itu bahkan melirik sinis, tak berminat meladeni tingkah Haruto yang menyebalkan. "Aku masih ada urusan--"

"Ke mana? Aku aja yang temenin." Dengan lancang Haruto menggandeng tangan Mara. "Pak Yo suruh pulang aja."

Genggaman tangan Haruto terlalu kencang dan Mara tak sekuat itu untuk melepasnya. Perempuan itu hanya bisa parah mengikuti langkah Haruto. "Aku masih harus ketemu sama beberapa temen--"

"Cewek atau cowok?"

Bola mata Mara memutar malas. Ia sudah tahu akan seperti apa reaksi Haruto saat ia menjawab laki-laki. Namun kalau Mara berbohong, itu hanya akan menjadi bumerang dan respon Haruto nanti akan lebih menyeramkan.

"Cowok, dia salah satu anak dari perusahaan pupuk yang jadi supplier di perkebunan," Mara tetap menjelaskan walau tahu setelah ini Haruto akan semakin resek. "Aku nggak boleh lepas perusahaan itu, soalnya pupuk di sana yang paling bagus kualitasnya."

Haruto hanya mengangguk, walaupun sebenarnya ia ingin sekali menarik Mara pulang. Namun, mengingat manusia itu sangat penting untuk Mara, ia tak bisa banyak protes. "Ya udah, kita ketemu dia di mana?"

Keduanya beringin menuju basement di mana mobil Haruto terparkir. Jemari Haruto masih terus menggenggam tangan Mara. Tak ada obrolan dari keduanya hingga mereka masuk ke dalam mobil.

Mercedes Benz Haruto sudah mulai melaju, sedangkan Mara yang duduk di samping kemudi memiliki untuk menunduk. Mengirim kabar pada sopirnya, lalu mengirim pesan juga pada seseorang yang akan ia temui.

"Kita ke The Racha Resto," pinta Mara, "orangnya udah ada di sana."

Tak ada balasan dari Haruto, ia masih terus mengemudikan mobilnya keluar dari basement. Otak remaja lelaki itu sedang berpikir keras agar Mara tidak bertemu dengan laki-laki di restoran khas timur tengah. Namun, semua cara dan alasan yang ada di otak Haruto hanya akan berakhir membuat Mara emosi.

METAMORPIKIR SEMPURNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang