49. Lebaran Yang Tenang

664 164 5
                                    

Suasana lebaran yang sangat damai, Mara sangat suka ketenangan ini. Tidak ada asisten rumah tangga atau pekerja yang lain. Hanya ada Mara dan Mama. Keduanya duduk tenang menonton televisi dengan setoples keripik kentang di pangkuan Mara.

"Tahun lalu kamu lebaran sama keluarga Ruto?"

Mara mengangguk sebagai jawaban, "Di rumahnya Ruto," jelasnya meskipun masih tetap menatap fokus pada layar televisi yang menampilkan sebuah film dokumenter.

"Berarti keluarga Haruto tahun lalu nggak mudik?"

"Nggak, mereka cuma ke rumah saudara yang jadi tempat Nenek tinggal pas lebaran."

Mama memang cukup sering bertanya tentang keluarga Haruto. Mama juga tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih pada bundanya Haruto karena sudah menjaga Mara, bahkan mengambil alih tugasnya sebagai seorang ibu untuk Mara. Selain itu, semakin Mama mendengarkan cerita Mama yang diperlakukan baik oleh keluarga Haruto, rasa bersalahnya pun semakin besar pada Mara.

"Awal bulan nanti aku sama anak kelas mau ke pulau pribadi keluarga Watanabe," cerita Mara meskipun masih tetap menatap fokus pada layar televisi. "Mama nggak apa-apa sendiri di sini?"

"Kan, Mbak udah pulang. Lagian kamu aja bisa sendiri, masa Mama nggak."

Mara tersenyum tipis, "Justru karena aku tau rasanya sendirian itu gimana, takutnya Mama nggak betah," balasnya sehati-hati mungkin, ia takut mamanya tersinggung.

"Tenaaang, lagian kalo Mama bilang nggak bisa sendiri, terus Mama harus ngapain? Ikut jalan-jalan sama temen sekelas kamu?"

"Eh, ide bagus itu--"

"Nggak!" Tanpa pikir panjang Mama menepis perkataan putrinya. "Mereka kumpul di rumah aja Mama pusing, apalagi ikut gabung sama kalian."

Culture shock yang paling Mama rasakan memang berasal dari tingkah laku anak kelas Mara. Selama bulan puasa, beberapa di antara mereka sesekali berkumpul dan main di rumah. Padahal nggak full satu kelas, tapi ributnya udah kayak satu rombongan demo.

Kebayang kalo Mama ikut liburan bareng anak-anak kelas Mara. Beuuuh, buat ngebayanginnya aja Mama angkat tangan.

"Lagian Mama mau nyari rumah di sini," jelas Mama mengalihkan bayangan tentang rusuhnya teman-teman Mara. "Ayahnya Ruto nggak mau jual rumah ini, sih."

"Udah dapet di mana aja kandidatnya, Ma?"

Mama menggeleng, "Belum dapet. Mama, tuh, pingin punya rumah yang tetangganya pada asik. Eh--perumahan tempat Mbak Hanna ada yang kosong nggak, Ra? Kayaknya tetangga mereka pada asik, deh."

"Mama sama tingkah anak kelas aja nyerah, apalagi sama tingkah penduduk Graha Permai," balas Mara yang berusaha menahan tawanya. Ia yakin Mama akan semakin shock kalau tahu seribut apa para tetangga bundanya Haruto. "Yang lain aja, deh. Nanti aku tanyain kompleks rumah temen sekelas aku ada yang kosong atau nggak."

"Tetangganya yang asik, ya, Ra."

Mara hanya mengangguk, mamanya ini pasti kesepian. Biasanya hari-hari bertemu dengan orang baru dan berbincang dengan kolaga bisnis, sedangkan sekarang harus terkurung dengan aktivitas terbatas.

"Oh, iya. Mama bisa ngajuin gugatan cerai ke Papa bulan depan. Semua udah aman."

🦋

"Apa gue bilang, kita ini udah dibuang." Woojin berbisik pada adik lelakinya. Si sulung itu terus menikmati puding coklat, meskipun tatapannya tertuju pada ruang tengah rumah keluarga mamanya. "Liat! Dari tadi kagak ada yang peduliin kita."

Woojin dan Jihoon kompak berdiri d pojok ruang makan. Adik kakak itu memilih menikmati berbagai jenis makanan, sembari menonton perhatian yang keluarganya berikan pada Seira.

METAMORPIKIR SEMPURNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang