6

406 67 1
                                    

Rendi tersenyum kecil kala melihat Wina yang sedang tertawa bersama Haris. Dia senang dan merasa sangat tenang ketika tahu dan melihatnya dengan langsung bahwa Wina baik-baik saja.

Sudah menjadi kebiasaannya melihat Wina dari jarak jauh, dan juga sudah menjadi kebiasaannya selalu meminta Haris untuk menjaga Wina.

“Gue ngerasa tenang kalau lo baik-baik aja,” gumam Rendi.

Selang beberapa saat, Rendi memilih pergi dari sana. Tidak ingin berlama-lama, takut jika dirinya ketahuan.

Walau sebenarnya dia ingin, ingin terus melihat perempuan yang dia cintai sedang tertawa. Bahkan dia ingin berinteraksi juga saling bercerita dengan perempuan itu lagi.

“Ren, gak mau di samperin aja?” tanya Lintang yang entah sudah sejak kapan berada dibelakang Rendi.

“Lo asli lama-lama kayak setan,” dengus Rendi kesal.

Lintang menggidikkan bahunya acuh, berjalan beriringan bersama Rendi, “bosen gue ngeliat lu bucin jauh-jauhan gini. Entar keambil yang lain lo nya nangis.”

Rendi mendecak kesal, “ya gak papa. Asal dia baik-baik aja.”

“Bucin tolol. Lo mau sampe kapan sih Ren? Gue udah bilang ya, kalau lo cowok ya lo lawan. Jangan mau harga diri lo di rendahin gitu aja.”

Rendi menghela napas, “satu sisi gue ngehargain dia yang cewek. Dan sisi lain, gue ngelindungin cewek yang paling berharga setelah nyokap gue. Apa itu salah?”

Lintang menghentikan langkahnya, membuat Rendi pun ikut menghentikan langkahnya dan menatap bingung ke arah Lintang yang sedang menatapnya tajam.

“Pertama, ngelawan bukan berarti lo gak ngerhargain cewek. Dan kedua, kalau lo cowok, lo berani lewatin jalan seberbahaya apapun. Dan lo pasti bakalan lindungin cewek lo yang pastinya bakalan ada di samping lo. Bukan cowok lain.”

Tubuh Rendi seketika membeku mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Lintang. Dirinya seperti di tampar dengan ribuan tangan.

Kalimat-kalimat itu benar-benar langsung menusuknya.

Lintang menatap lurus ke arah Rendi, “gue emang baru kenal sama lo. Tapi bukan berarti gue gak paham sama apa yang terjadi. Gue gak bisa bilang kalau gue ngertiin lo sepenuhnya, karena gue gak ngejalanin kehidupan lo. Tapi gue paham 0,1% yang terjadi sama lo.”

“Lin—“

“Ren, dengerin gue. Apapun masalah yang ada, entah siapapun itu. Jangan jadiin diri lo tameng dari masalah itu. Kalau lo emang udah sering jadi tameng, itu artinya lo kuat karena bisa bertahan. Dan lo tau apa? Sekarang waktunya lo nyerang, waktunya lo jadi penyerang.”

Rendi menghela napas dan tersenyum kecil, “jadi penyerang dan nyakitin orang yang gue sayang maksud  lo?”

Lintang bendecih, “pikiran lo bocah. Tolol banget. Kalau lo yakin, dan lo beneran sayang sama mereka. Lo harusnya ada di samping mereka dan lindungin mereka. Bukannya malah jadi bom buat musuh dan orang yang lo sayang ngejauh dari lo.”

“Apa salahnya jadi bom? Ngehancurin masalah itu dan buat orang yang gue sayang selamat.”

“Dan ngorbanin diri lo sendiri? Bego. Gak sekali dua kali gue ketemu orang kayak lo. Mati konyol cuma demi lindungin orang yang dia sayang. Asli, blegug,” ucap Lintang sambil mengusap telinganya beberapa kali.

“Lo tau kan ada kalimat yang pernah bilang kalau pengorbanan itu penting buat ngelindungin orang yang kita sayang,” ucap Rendi.

Lintang merotasikan matanya malas, “iya terus? Lo mau dianggap pahlawan karena itu? Karena jasa pengorbanan lo itu? Ren, bahkan pengorbanan itu gak akan bertahan lama. Meskipun lo udah berkorban, apa lo tau apa yang terjadi dibelakang lo? Enggak kan? Jadi jangan so jadiin diri lo pahlawan, tameng dan semacammnya kalau lo lemah.”

REND - Renjun Lokal [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang