11

346 52 2
                                    

Rendra melirik ke arah Rendi yang sedang bermain handphone, sama sekali tidak menghiraukan keberadaan dirinya dan mengacuhkannya. Sedikit kesal memang, tapi begitulah sifat sang kakak.

“Al, lo ngerasa ada yang aneh sama Ayah gak?” tanya Rendra membuka percakapan.

“Anehnya?”

Rendra menghela napas, “Ayah udah gak pulang selama sebulan yang katanya karena ada urusan atau kerjaan di luar kota, dan kemarin pulang-pulang cuma sehari tanpa ada interaksi sama kita trus pergi lagi?”

“Ya mungkin Ayah sibuk kali, lo kenapa curigaan dah Bi?” tanya Rendi bingung.

“Al, Bunda aja keliatan sedih ngeliat Ayah kemarin. Bahkan lo liat sendiri tadi pagi Ayah ngacuhin Bunda. Dan lagi, ini weekend? Posisi ayah juga sebagai kepala cabang. Tapi mau kepala cabang atau karyawan biasa kalau waktunya libur ya libur dong,” jelas Rendra.

Rendi menaruh handphonenya dan menghela napas, “gue sebenernya gak mau ikut campur juga, kita gak bisa ngurusin masalah gini Bi. Bukan ranah kita.”

Rendra menggeleng cepat tanda tak setuju dengan ucapan kakaknya, “tapi siapapun yang nyakitin Bunda, bahkan itu Ayah sekalipun. Gue gak akan tinggal diem Al. Lo tau ucapan gue ini gak pernah main-main kalau menyangkut Bunda.”

“Bian, gue ngerti. Tapi kita harus gimana?”

“Nyari tau semuanya Al, gue gak yakin sama Ayah yang sekarang. Gue bener-bener gak kenal sama Ayah yang sekarang, rasanya asing. Dia bukan Ayah kita,” jawab Rendra.

Rendi menghela napas, turun dari kasurnya dan mengambil sesuatu dari bawah tempat tidur. Sebuah totebag yang entah apa isinya.

Totebag itu Rendi berikan pada Rendra, dan tanpa basa-basi langsung Rendra buka.

Sebuah kemeja putih milik sang ayah, dengan wangi parfum yang sama sekali tidak Rendra kenali. Seperti parfum wanita.

“Al?”

“Lo mau nyari tau kan? Itu. Gue udah nyari tau semuanya lebih dulu Bi. Dan itu gue temuin kemarin pas Ayah pulang. Beruntung Bunda belum ngebuka-buka koper Ayah,” jelas Rendi.

Rendra memutar-mutar kemeja itu, dan tak sengaja menemukan sehelai rambut panjang, rambut wanita berwarna brown.

“Ini?” tanya Rendra yang diangguki Rendi.

“Iya. Lo bener, emang ada sesuatu sama Ayah belakangan ini. Gue sadar Bi, gue sadar sama perubahan sikap Ayah. Tapi kita bisa apa? Kalau kita nunjukin semuanya, bukan kita yang bahaya, tapi Bunda juga. Lo tau senekat apa Ayah, dan kenekatannya itu diwarisin sama lo,” jelas Rendi.

Rendi menghela napas, "jadi lo pasti ngerti."

Tangan Rendra terkebal kuat, meremat kemeja sang Ayah sampai tak berbentuk. Menatap lurus keluar jendela dimana hujan lebat sedang turun.

“Jangan sampai lo meledak di depan Bunda kalau lo masih mau Bunda baik-baik aja, Rendra.”

---

Haekal meninju cermin di kamarnya sampai hancur, tidak memperdulikan tangannya yang sekarang sudah berlumuran darah.

“BRENGSEK!!” teriak Haekal kuat.

Amarahnya membuat wajah dan matanya memerah, bahkan Haekal sudah mengeluarkan air mata tanpa dia sadari.

Beberapa menit lalu, Haekal telat untuk menyelamatkan sang Bunda dari Kakak kandungnya sendiri. Membuat sang Bunda harus dilarikan ke rumah sakit sedangkan dirinya gagal untuk menangkap sang Kakak.

Haekal menyesal karena dia lebih mementingkan pergi membeli camilan dibanding menemani sang Bunda.

Walau sebenarnya Haekal sendiri tidak menyangka bahwa Kakaknya akan senekat itu hingga membuat Bundanya tak sadarkan diri dan dilarikan ke rumah sakit.

REND - Renjun Lokal [END]Where stories live. Discover now