18

327 52 2
                                    

Haekal saling pandang dengan Narendra, mereka bingung dengan sikap Jeriel yanng menurut mereka sangat aneh hari ini.

Karena biasanya pagi-pagi sekali Jeriel masih bersama Karin dan baru menghampiri mereka semenit sebelum jam masuk.

Tapi sekarang Jeriel sudah ikut bergabung bersama mereka di belakang sekolah. Tempat mereka menunggu jam masuk berbunyi.

“Lo lagi kenapa Jer?” tanya Rendra langsung, membuat Haekal dan Narendra sedikit geram karena Rendra terlalu to the point.

Jeriel menatap Rendra sekilas dan kembali fokus dengan handphonenya, tidak mau memperdulikan pertanyaan Rendra. Karena mood nya sedang tidak baik-baik saja untuk sekarang.

“Putus cinta segitunya banget bro,” celetuk Rendra.

“Maksud lo?” tanya Jeriel.

Rendra tertawa pelan, “kurang jelas?”

“Dra,” tegur Narendra.

Rendra menghela napas, melempar kertas yang sudah tersobek di atas meja mereka, “perjanjian lo sama Karin selesai kemarin kan? And now you are confused because you are addicted. With her, am I right?”

Jeriel menatap Rendra tajam, “lo tau dari mana?” tanya Jeriel dengan nada yang tidak bersahabat.

Rendra tertawa pelan mendengarnya, “Chill bro. Lo gak perlu tau gue tau ini darimana. Yang jelas, mau lo dan Karin, kalian sama. Sama sama udah kecanduan satu sama lain. Bedanya Karin kecanduannya gak ke lo doang.”

“Dra, lo bisa jelasin maksud ucapan lo dan kertas kertas ini apa?” tanya Haekal.

Rendra menggidikkan bahunya lalu berdiri, menatap ketiga temannya bergantian dan tersenyum, “kenapa gue? Yang punya permasalahan ini Jeriel, bukan gue. Gue duluan.”

Setelah mengucapkan itu, Rendra pergi begitu saja meninggalkan ketiga temannya yang terdiam satu sama lain.

“Jer,” panggil Narendra.

Fine! Gue sama Karin buat perjanjian untuk muasin satu sama lain. Awalnya gue buat itu biar Karin berhenti sama hal gituan dengan orang yang gak jelas di luar sana.”

“ONS maksud lo?” tanya Narendra.

“Kurang lebih gitu. Dan selama ini gue kira Karin udah berhenti, tapi kemaren malem gue tau, kalau Karin gak bisa berhenti. Dan itu surat perjanjian yang gue robek buat nandain kalau perjanjian gue sama Karin selesai.”

“Jadi FWB kalian itu buat Karin?” tanya Haekal yang diangguki Jeriel.

“Dan sekarang lo jadi kecanduan, gitu maksudnya?” tanya Narendra.

Jeriel menggeleng ragu, “gue gak tau, gue cuma ngerasa aneh dan ada yang kurang aja gitu.”

Brak!

Mereka bertiga terkejut dengan sebungkus rokok di meja yang dilempar oleh Rendra. Menatap Rendra tak percaya karena membawa rokok ke lingkungan sekolah.

“Lo gila?” tanya Jeriel.

Rendra tertawa lalu duduk di sebelah Haekal, “ngaca aja sih. Lagian kayak lo gak pernah aja Jer. Di bagasi motor lo dua bungkus kemaren gue liat.”

“Sialan.”

Jeriel mengambil sebatang rokok itu dan langsung menyalakannya. Menghisapnya dan menghembuskan asapnya ke udara. Sedikit merasa lega untuk sekarang.

“Rendi yang liat,” ucap Rendra tiba-tiba.

“Hah?”

Rendra menghela napas pelan, “Rendi yang liat ributnya lo sama Karin, dan dia yang bawa surat itu. Dia minta gue ngomong ke lo, dia nyuruh baik-baik sih. Tapi males guenya.”

“Emang bangsat sih lo, jadi gak ada baik-baiknya,” ucap Narendra.

“Sialan,” umpat Rendra kesal.

“Rendi kenapa bisa tau?” tanya Jeriel.

Rendra mengangkat bahunya, “gak tau, dia cuma bilang gitu ke gue. Dan dia nyuruh gue buat lo tinggal bareng gue, Rendi sama Bunda di apart. Katanya udah gak kondusif.”

“Gue gak bisa,” ucap Jeriel pelan.

“Gak bisa ninggalin Karin kan?”

Haekal menghela napas pelan, “gue sedikit paham apa yang lagi terjadi sekarang. Tapi menurut gue, lo ikut Rendra, Jer. Karena gue liat kemaren bokap lo hampir ribut sama bokap Rendra.”

“Haekal dan gue liat kejadiannya, dan yang kita denger, mereka sama sama serius. Keselamatan kalian jadi ancamannya,” lanjut Narendra.

“Maksud lo apa?” tanya Rendra bingung.

“Keselamatan mental kalian, terutama lo Jer. Bokap sama nyokap lo udah sama sama stress. Gue cuma gak mau ada ucapan mereka yang bisa ngeganggu lo,” jelas Haekal.

“Bunda gue gak sejahat itu buat sampe benci sama lo Jer, Bunda gue sama kayak Rendi. Mereka terlalu baik. Sayang aja, gue harus dapet keturunan dari si sialan.”

---

Rendi menghela napas mendapati bangkunya banyak terdapat sampah dan sangat kotor juga basah akibat air pel. Dia sangat muak.

Sungguh, dia sebenarnya sangat lelah, ditambah kemarin dia sangat bingung dengan apa yang dimaksud Rendra dan juga Refy. Dan juga dia bingung dengan sikap Wina yang sangat berubah menurutnya.

Tak selang berapa lama, Elena menghampirinya, menatapnya dengan tajam dengan tangan yang terkepal kuat. Sungguh, Rendi lelah sekarang.

“Lo—“ ucapan Elena tertahan, napasnya memburu sambil menunjuk Rendi, “masih deket sama Wina?”

Rendi menghela napas pelan, “enggak.”

“JANGAN BOHONG!!!” jerit Elena kesal. “Kemarin gue liat lo lagi di restoran sama Wina!”

Rendi menatap Elena tajam, “terus mau lo apa sekarang? Makin bully gue? Do everything you want to do. Terserah,” ucap Rendi dan berjalan keluar kelas.

Dia akan bolos sekarang, tidak perduli akan tertinggal pelajaran. Toh dia sudah pintar. Mudah baginya untuk belajar pelajaran yang tertinggal.

“GUE BAKAL BUNUH WINA!!”

Deg!

Langkah Rendi terhenti, seisi kelas dibuat terkejut dengan ucapan Elena. Termasuk kedua teman dekat Elena.

Rendi berbalik, menatap Elena tak percaya. “Lo jangan macem-macem Elena!”

“Gue gak akan pernah main-main sama ucapan gue Rendi. Lo tau se serius apa gue. Semua hal yang gue pengen, harus gue dapet. Dan gue pengen dapetin lo, meskipun harus jadi pembunuh!” ucap Elena serius.

Rendi menggeleng, “itu obsesi Elena. Berhentiin semuanya atau bukan cuma orang di sekitar lo yang rugi. Tapi lo juga.”

“GUE GAK PEDULI!! GUE GAK PEDULI!! APAPUN YANG GUE MAU, HARUS GUE DAPETIN DENGAN CARA APAPUN!!”

REND - Renjun Lokal [END]Where stories live. Discover now